Cerita Cyclist Dwi Soetjipto Menaklukkan Jalur Erek-erek Ijen di Usia 69 TahunBanyuwangi Bluefire Ijen KOM

Cerita Cyclist Dwi Soetjipto Menaklukkan Jalur Erek-erek Ijen di Usia 69 Tahun

Dwi Soetjipto dengan sepeda andalannya bersiap menaklukkan rute dalam event Mainsepeda Trilogy, Banyuwangi Bluefire Ijen Kom 2025. (Foto: Istimewa)

KabarBanyuwangi.co.id - Dwi Soetjipto akhirnya sukses melahap tanjakan Erek-erek yang menjadi salah satu rute terberat sekaligus seri pamungkas dalam event Mainsepeda Trilogy, Banyuwangi Bluefire Ijen Kom 2025.

Di usianya yang hampir tujuh dekade, Mantan Direktur Utama Pertamina sekaligus Kepala SKK Migas itu telah menorehkan capaian luar biasa. Ia berhasil finis di tiga seri ajang bergengsi Mainsepeda East Java Trilogy 2025.

Pada seri sebelumnya, Bromo KOM sudah ia lalui serta Kediri Dholo KOM dengan gradien 24 persen juga ia taklukkan, dan tantangan terbesarnya di Banyuwangi Bluefire Ijen KOM berjarak 86,9 Kilometer.

Baca Juga :

Pria kelahiran 1956 ini turun di kategori Man Age 60+. Ia mengenakan nomor 919 dengan roadbike Bastion berbahan karbon dan titanium yang selalu menjadi andalannya. 

Sepedanya itu ia kayuh untuk menaklukan tanjakan super ekstrem dengan status Hors Categorie (HC) yang gradiennya menyentuh 34 persen, dan elevasi mencapai 1.708 meter yang ada pada rute Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM.

Dwi mengakui dengan gradien mencapai 34 persen, jalur ini menguji tidak hanya kekuatan fisik, tetapi juga mental. Apalagi ini adalah pengalaman pertamanya menjajal track Banyuwangi.

Dwi sadar seri terakhir ini adalah yang terberat. Sehingga ia melakukan persiapan serius dengan latihan intensif. Sebulan penuh sebelum event, ia rutin menjajal tanjakan di Bogor, mulai dari Kebo, Cipanas, hingga Puncak. Termasuk gowes bersama enam rekannya di jalur menuju Djawatan, Banyuwangi sebagai pemanasan.

"Ini jalur terberat dari trilogi Mainsepeda," kata pria 69 tahun itu saat ditemui usai event, Sabtu (27/9/2025).

Dwi memang tidak menargetkan podium. Baginya, garis finish hanyalah simbol. Yang terpenting adalah menjaga konsistensi, menaklukkan diri sendiri, dan membagi semangat bersepeda kepada orang lain.

"Usia memang handicap, tapi kalau keinginan sudah kuat, saya yakin bisa. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal menang atau kalah, melainkan bagaimana kita tetap bergerak maju," kata pria kelahiran 1956 tersebut.

Tapi siapa sangka, berangkat tanpa target upayanya justru berakhir manis. Ia berhasil finish sekitar pukul 13.00 WIB atau setengah jam sebelum cut of time. Prestasi membanggakan mengingat usianya yang tak lagi muda.

Dengan hasil tersebut, Dwi memperoleh medali Banyuwangi Blue Fire Ijen KOM untuk melengkapi medali dari dua seri sebelumnya yang bisa dirangkai menjadi piramida prestisius dan menjadi bukti keberhasilannya dalam Mainsepeda Thrilogy.


Dwi Soetjipto mengenakan nomor punggung 919 melintas di ruas jalan Banyuwangi. (Foto: Istimewa)

Bagi Dwi Soetjipto, ini bukan hanya lomba, melainkan babak baru dalam menulis ulang kisah hidupnya, satu kilometer demi satu kilometer. Bersepeda seolah menjadi jalan baginya untuk kembali merasa muda.

Awalnya, sekitar tahun 2005, Dwi hanya mengayuh sepeda gunung untuk sekadar menjajal medan ekstrem Bukit Kapur Gresik. Lama kelamaan, rutinitas itu berubah menjadi kebiasaan yang lebih serius.

Dari sekadar menempuh jalan menuju kantor bersama karyawan sambil berbagi kegiatan sosial, hobinya bertransformasi menjadi sebuah ritus baru, menjaga kesehatan, membangun disiplin, dan menemukan kedekatan batin dengan orang-orang terdekat.

Tahun 2020, ia beralih ke roadbike, dan sejak itu intensitasnya makin teratur. Tiga kali dalam sepekan, Dwi memutar pedal, dengan jarak tempuh rata-rata 60 kilometer setiap kali berlatih.

Baginya, tantangan sesungguhnya bukan hanya di lintasan menanjak, melainkan di dalam diri sendiri.

"Yang terberat itu bukan melawan usia, tapi membiasakan diri bangun pagi. Makanya saya selalu minta teman untuk menjemput, agar saya terdorong keluar rumah. Setelah itu, tubuh justru merasa lebih segar," ujarnya.

Filosofi ini ia wujudkan dalam komunitas yang ia dirikan yakni MOBCC – Mind Over Body Cycling Club, dengan keyakinan bahwa tubuh sesungguhnya digerakkan oleh kekuatan pikiran.

Keseriusannya bersepeda membuat namanya tercatat dalam berbagai ajang, dari Gran Fondo New York (GFNY) Bali, hingga masuk dalam jajaran 110 pesepeda tercepat dunia di event internasional. (fat)