(Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id – Dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional dengan surplus beras lebih dari 300 ton setiap tahun, Banyuwangi membuat terobosan dengan mengembangkan beras biofortifikasi (beras bernutrisi) yaitu padi yang dibudidayakan dengan cara meningkatkan kandungan gizinya.
Beras ini mengandung berbagai macam vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti Vitamin A, B1, B3, B12, B9 (asam folat), zat besi, dan zinc, sehingga sangat baik untuk dikonsumsi, terutama bagi ibu hamil dan anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
“Upaya ini selaras dengan Asta
Cita Presiden Prabowo. Selain mendukung ketahanan pangan, pengembangan beras
bernutrisi juga memperkuat pembangunan SDM,” kata Bupati Banyuwangi Ipuk
Fiestiandani..
Harapannya kualitas gizi
masyarakat semakin meningkat. Selain itu juga bisa menekan bahkan mencegah
stunting,” imbuhnya.
Beras biofortifikasi diproduksi
melalui modifikasi genetik tanaman padi untuk meningkatkan kandungan gizi.
Pengembangan beras ini dilakukan
pemkab bersama produsen pertanian ramah lingkungan yang berbasis di
Banyuwangi, Pandawa Agri Indonesia, Danone Indonesia dan Bulog Banyuwangi.
CEO Pandawa Agri Indonesia, Kukuh
Roxa Putra, menjelaskan saat ini pengembangan beras biofortifikasi dilakukan di
lahan seluas 60 hektare dengan melibatkan puluhan petani.
Lahan tersebut tersebar di
sejumlah wilayah. Seperti Kecamatan Blimbingsari, Licin, Glagah, Singojuruh,
dan Sempu.
“Tahun 2026 akan kami perluas
hingga 500 hektare dengan melibatkan 100-an petani,” ujar Kukuh.
Dalam pelaksanaannya pendampingan
dari hulu ke hilir kepada para petani, mulai penyiapan benih, pengolahan lahan,
proses budidaya, hingga perlakuan pasca panen.
Dengan pendampingan tersebut,
produktivitas tanaman padi bisa ditingkatkan hingga 15 per sen.
Kukuh menambahkan, dalam proses
budidaya padi biofortifikasi tersebut, pihaknya konsisten menerapkan pertanian
ramah lingkungan.
Misalnya, melakukan pemupukan
berimbang dan rasional, menggunakan decomposer jerami untuk meningkatkan bahan
organik tanah, serta menerapkan sistem pengairan basah kering untuk menekan
emisi gas rumah kaca.
“Selain hemat biaya, teknik pertanian ini juga lebih ramah lingkungan" tambah Kukuh. (humas/kab/bwi)