(Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Kelompok tani Sumber Urip, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, berangsur lepas dari ketergantungan terhadap pupuk bersubsidi. Mereka secara swadaya mengoptimalkan pupuk organik dengan memanfaatkan limbah ternak.
Pengolahan pupuk organik ini dilakukan di peternakan sapi milik Saidi, ketua Kelompok Tani Sumber Urip. Tiap hari di kandang sapi yang menjadi Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) tersebut, kelompok tani ini mampu mengolah satu ton pupuk organik.
Bupati Banyuwangi Ipuk
Fiestiandani sempat mengunjungi kandang sapi pembuatan pupuk organik tersebut
dan bertemu langsung para petani dan peternak saat melakukan Ngantor di Desa
(Bunga Desa) pada pekan lalu.
"Meskipun menjadi tempat
pengolahan pupuk organik yang bahannya dari limbah ternak, ternyata tidak bau.
Ini keren bisa dicontoh pada kelompok tani lainnya," kata Ipuk.
Bupati Ipuk sangat mengapresiasi
kelompok tani ini dan diharap bisa membantu kebutuhan pupuk petani yang sempat
mengalami kelangkaan.
"Selain itu pupuk organik
sebagai upaya agar petani mulai beralih ke pertanian organik yang lebih ramah
lingkungan dan prospek pasarnya lebih bagus. Saya minta Dinas Pertanian untuk
terus melakukan pendampingan agar banyak petani yang beralih ke pupuk
organik," kata Ipuk.
Apalagi jatah petani untuk pupuk
bersubsidi dari pemerintah pusat kian lama kian berkurang, sehingga pupuk
organik menjadi alternatif.
Sementara Saidi mengatakan
perlahan para petani di kelompoknya mulai beralih ke pupuk organik. Meskipun
tidak bisa lepas sepenuhnya, tapi perlahan Saidi terus mengarahkan beralih
pupuk organik.
"Kalau saya sudah seratus
persen pakai pupuk organik. Memang perlu perlahan-lahan agar petani mau pakai
pupuk organik. Di kelompok kami ada yang sudah 25 persen pakai pupuk organik,
ada juga yang baru 15 persen," tambah Saidi.
Saidi menjelaskan pengolahan
limbah ternak menjadi pupuk organik tersebut dilakukan dengan pendampingan
Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Banyuwangi.
Di kelompok ini terdapat 104
anggota dan terdapat 38 ekor sapi peranakan ongole (sapi PO) dengan berbagai
turunannya seperti limousin, brahman dan simental yang mereka kembangkan dan fokus
pada proses pembibitan ternak.
Kelompok ini mengolah kotoran
sapi yang dicampurkan dengan cocopeat dan dapat menghasilkan 1 ton pupuk setiap
harinya. Cocopeat sendiri sangat mudah didapat karena bahan utamanya adalah
sekam atau tempurung buah kelapa yang diolah atau dihaluskan hingga menjadi
butiran seperti serbuk kayu, yang mana produk akhirnya adalah cocopeat.
"Pembuatan pupuk organik
sangat mudah dan murah. Satu ekor menghasilkan sekitar 20 kg kotoran sapi.
Untuk proses pembuatan dari kotoran menjadi pupuk sekitar 15 hari. Kini dengan
kami bisa menghasilkan rata-rata 1 ton pupuk organik tiap hari," jelas
Saidi.
Kotoran sapi merupakan penghasil
asam humat alami yang dapat meningkatkan Ph tanah secara optimal. Asam humat
berfungsi meningkatkan porositas tanah mengikat oksigen, hingga menahan air
lebih baik.
Dengan menggunakan pupuk organik
ini dapat menyeimbangkan Ph tanah dengan asam humat secara alami. Harapannya,
produjsi tanaman juga meningkat karena kesuburan tanahnya meningkat.
Berkat penggunaan pupuk organik
tersebut, beras hasil kelompok tani Sumber Urip mendapat sertifikat organik
untuk ruang lingkup padi, dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (Lesos).
Beras organik tersebut dinyatakan telah memenuhi persyaratan Sistem Pertanian Organik
melalui Internal Control System (ICS).
"Alhamdulilah Desember tahun
2022 beras kami telah mendapat sertifikat organik. Ini memacu kami untuk terus
mengembangkan pertanian organik," kata Saidi.
Beras organik memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi daripada beras umumnya. Satu kilogram untuk beras putih organik diharagai Rp 15.000, dan untuk beras merah organik dengan harga Rp 25.000. (humas/kab/bwi)