Ketua IJTI Banyuwangi Peringatkan Ancaman Hoaks di Era Posh Truth Ganggu Stabilitas SosialIJTI Banyuwangi

Ketua IJTI Banyuwangi Peringatkan Ancaman Hoaks di Era Posh Truth Ganggu Stabilitas Sosial

Samsul Arifin, Ketua IJTI Banyuwangi (kanan) bersama pengurus. (Foto: Istimewa)

KabarBanyuwangi.co.id – Informasi hoaks serta ujaran kebencian yang tersebar tak terkendali pada media sosial di era posh-truth telah menjadi ancaman nyata yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Banyuwangi, Jawa Timur, Syamsul Arifin menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak era post-truth terhadap stabilitas sosial.

"Di era post-truth, kebohongan mampu menyamar menjadi kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Opini publik tidak lagi dibangun atas dasar fakta ilmiah, data terverifikasi atau pun regulasi yang berlaku, melainkan didominasi oleh sentimen subjektif,” ujarnya, Rabu (16/4/2025).

Baca Juga :

Pria yang akrab disapa Mas Bono ini menyoroti penyebaran informasi tak akurat yang berseliweran di media sosial. Konten-konten semacam itu seringkali dibuat untuk memicu reaksi emosional, menciptakan kepanikan, atau bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Ia menegaskan pentingnya edukasi mendalam kepada masyarakat, khususnya dalam membedakan karakter media sosial dengan media massa profesional.

"Konten di medsos sering kali dibuat dan dikontrol oleh individu atau kelompok tanpa adanya proses editorial atau verifikasi yang ketat. Artinya, apa yang beredar di medsos tidak bisa serta merta dianggap sebagai kebenaran mutlak,” tegasnya.

Sebaliknya, Mas Bono menjelaskan bahwa media massa profesional memiliki mekanisme berbeda. Konten-kontennya diciptakan oleh organisasi dengan tim redaksi, wartawan, editor dan penanggung jawab yang jelas.

“Informasi yang disajikan melalui proses peliputan, verifikasi fakta dan penyuntingan sebelum dipublikasikan. Ada standar organisasi dan pemimpin redaksi yang bertanggung jawab atas isinya,” papar Mas Bono.

Maraknya akun medsos yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian, menurutnya, merupakan tantangan kolektif yang membutuhkan peran pemerintah, termasuk Diskominfo, kepolisian dan seluruh elemen masyarakat.

“Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami esensi medsos,” ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa medsos pada dasarnya adalah sarana ekspresi, interaksi sosial, berbagi informasi personal, hingga kegiatan promosi dan pemasaran.

Sebagai bagian dari gerakan Jurnalisme Positif, ia mengajak para jurnalis untuk terus memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai perbedaan antara medsos dan media massa profesional.

Lebih lanjut, Ketua IJTI Banyuwangi mendorong masyarakat untuk tidak ragu melaporkan jika merasa dirugikan oleh unggahan medsos yang meresahkan.

“Keberanian masyarakat untuk melapor sangat penting sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam menjaga ketertiban di dunia maya,” urainya.

“Ini juga merupakan upaya edukasi bahwa ber-medsos adalah hak setiap individu di era digital ini, namun harus dilakukan dengan bijak, santun, berlandaskan literasi yang kuat, serta menjunjung tinggi hukum yang berlaku di negara hukum Indonesia,” pungkasnya. (red)