Mapag Puoso, Menyongsong Bulan Ramadhan Bagi Orang Using BanyuwangiSawah Art Space

Mapag Puoso, Menyongsong Bulan Ramadhan Bagi Orang Using Banyuwangi

Anak-anak mengikuti sekolah adat membahas "Mapag Puoso". (Foto: Sen)

KabarBanyuwangi.co.id -  Bagi orang Using, moment datangnya Bulan Ramadhan disambut dengan ritual-ritual tertentu yang dilakukan secara turun-temurun. Agar tradisi itu tidak hilang, Sekolah Adat Osing menggelar kelas belajar pada hari Minggu 11 April 2021 dengan tema Mapag Puoso atau Menyongsong Bulan Puasa Ramadhan. Materi belajar tentang ragam adat orang Using menyongsong bulan Ramadhan disampaikan oleh Suhaimi, Ketua Adat Kemiren.

“Karena wilayah administasri tempat ini (Sawah Art Space –Red) ini masuk Desa Olehsari, nanti dalam pertemuan selanjutnya kita undang ketua adatnya yang memberikan materi kepada adik-adik sekalian,” kata Slamet Diharjo, pemilik Sawah Art Space kepada 30 anak-anak peserta Sekolah Adat.

Selain dari Desa Kemiren dan Desa Olehsari, peserta sekolah adat Pesinauan juga berasal dari Cungking, Andong dan Mandaluko. Mereka tidak dipungut biaya, dan setiap hari minggu mendapatkan materi-materi dari narasumber berbeda. Bahkan setelah pemberian materi, anak-anak bisa bermain bebas di tengah sawah.

Baca Juga :

Kepada anak-anak, Suhaimi menjelaskan, bawah setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan, orang-orang Using mempunyai tradisi membersihakan makam bagi laki-laki dan membersihak rumah dan beberapa peralatan yang ada di rumah. Selain ada selamaten ruwahan dan penampan di Masjid dan Langgar. 

“Makanya, anak-anak bisa berperan dalam melestarikan tradisi ini. Bagi anak laki-laki bisa membantu ayah membersihkan makan leluhur, dan bagi anak perempuan bisa membantu ibu membersihkan rumah, bagian dapur dan peralatan yang digunakan ritual,” jelas Suhaimi yang disambut anggukan anak-anak.

Seluruh proses belajar di Pesinauan tidak dipungut biaya, peserta membawa makanan dan minuman sendiri dan tetap mengikuti protokol kesehatan selama pandemi. Karena tempat terbatas, peserta pun juga dibatasi.

 “Sebetulnya yang minat banyak, tetapi kita haru membatasinya dengan kondisi sekarang yang masih pandemi,” ujar Slamet Diharjo yang juga seorang penari ini.

Saat pemberian materi, anak-anak sempat mengajukan pertanyaan, kenapa Puasa harus disambut dengan ritual tertentu. Suhaimi dengan tangkas menjawab, bahwa itu karena kepercayaan orang Using saat bulan Ramadhan leluhur akan pulang.

“Saat nyekar atau ngirim, kata orang osing, biasa arwah ini juga diajak pulang. Ternyata dipercaya ada yang ikut pulang, terus bokor dan kendi dibersihkan Suahimi menambahkan, makanya ada larangan dikala orang Using, kalau makan nasi yang diambil dari kemarang, agar tidak dihabiskan isi kemarangnya. Barangkali ada arwah yang ikut pulang, agar masih mendapatkan bagian nasi," jelas Suhaimi.


Keterangan Gambar : Suhaimi, Ketua Adat Kemiren menjalaskan tradisi "Mapag Puoso". (Foto: Sen)

Melihat tradisi tersebut, Sekretaris PD AMAN Osing, Wiwin Indarti menjelaskan, bahwa simbol ikatan kuat antara keluarga dengan para leluhurnya. Kalau di keluarga modern, lingkupnya Ibu, Bapak dan Anak, tetapi kalau orang Using, namanya keluarga itu yang hingga nenek atau embah buyut-nya.

“Namanya akar persaudaraan itu bisa dirunut jauh ke belakang. Makanya simbol penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur itu diwujudukan sandingan itu tadi. Kalau kita bikin sandingan, artinya kita masih mengingat jasa-jasa leluhur atau menganggap leluhur itu bagian utuh dari hidup kita. Sama halnya dengan mendoakan leluhur yang sudah meninggal. Artinya mereka masih kita simpan di hati,” kata Wiwin yang juga peneliti Mocoan Lontar Yusup ini. 

Wiwin menambahkan, sama dengan film Coco dari Disney yang menggambarkan jagat pikir orang Meksiko terkait saudara yang sudah meninggal. Eksistensi seseorang itu ukurannya kalau dia masih ada di ingatan atau hati orang lain. Leluhur itu berharga kalau kita masih mengingatnya.

“Bentuknya persembahan doa atau kalau orang Using ya sandingan itu. Jadi sandingan adalah simbol ikatan kita dengan leluhur yang sudah lebih dulu menghadap Pengeran,” tambahnya.

“Menyongsong bulan ramadhan bersama-sama denga leluhur yang sudah meninggal sangat mengharukan. Ini mengingatkan awal keberadaan kita di dunia, karena nenek moyang kita tadi. Sekaligus mengingatkan, bahwan hidup itu tidak selamanya,” pungkas Wiwin. (sen)