Kang Elvin, Kang Hasan Basri (Ketua Dewan Kesenian Blambangan, DKB), dan Kang Hansen menabuh hadrah pertanda diluncurkannya buku Angklung. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan.
KabarBanyuwangi.co.id - Salah satu keunggulan buku ini, menurut saya, adalah kedetilan data yang disuguhkan. Mulai dari deskripsi, bentuk, jenis-jenis instrumen, tuning frekuensi, karakteristik masing-masing kelompok, dan perkembangan angklung disajikan secara runtut. Meskipun Wolber sudah menyinggungnya dalam disertasi serta beberapa tulisan jurnalnya, buku ini tetap menyuguhkan detil-detil yang berbeda.
Apa yang menarik diperhatikan dari detil-detil itu adalah kehendak untuk menyampaikan wacana-wacana yang tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya secara luas. Dalam deskripsi tentang angklung Banyuwangi, misalnya, kita akan menemukan beberapa penjelasan (Hendrata, 2021: 3-4).
Pertama, dibuat dari ruas-ruas bambu yang diraut dan
berbentuk tabung terpotong, dan disusun sedemikian rupa di atas ancak yang
terbuat dari kayu sehingga apabila dipukul akan mengeluarkan bunyi nyaring dan
terdengar indah paduan suaranya serta membentuk bunyi nada dengan laras
slendro. Kedua, sangat khas, baik terkait cara pembuatan, bentuk, maupun teknik
memainkan yang berbeda dengan daerah lain, menggunakan pemukul terbuat dari
bambu dan kayu santen.
Ketiga, dalam pemahaman sebagai alat musik tradisional,
angklung adalah sekumpulan peralatan musik orkestra mini yang terdiri atas
beberapa peralatan seperti kendang, saron, selentem, gong, angklung, ketuk,
bahola, suling, dan kluncing. Keempat, angklung sebagai “kelompok musik
tradisional” yang beranggotakan dua belas sampai dengan lima belas orang yang
memainkan alat musik masing-masing.
Dalam perkembangannya, angklung sebagai kelompok musik
tradisional memiliki bermacam jenis, seperti Angklung Caruk, Angklung Dwilaras,
Angklung Daerah, dan lain-lain. Bagi seniman yang biasa memainkan atau membuat
angklung, penjelasan-penjelasan tersebut (mungkin) tidak begitu dibutuhkan.
Namun, penjelasan tersebut jelas dibutuhkan untuk kepentingan akademis, seperti
pembelajaran, dan keperluan kreatif, seperti eksplorasi musikal berbasis
lokalitas, apalagi untuk mereka yang berasal dari luar Banyuwangi.
Keinginan atau, setidaknya, rasa penasaran untuk
mempelajari, memainkan, ataupun mengkaji alat musik ini bisa tumbuh dari
membaca penjabaran yang menunjukkan karakteristik dan keberbedaan angklung
Banyuwangi dengan angklung-angklung lain di Indonesia. Reasoning itu pula yang
membuat pentingnya penjelasan terkait notasi, tuning frekuensi, nama-nama alat
musik, jenis-jenis angklung, dan yang lain.
Menurut saya, itu merupakan ikhtiar (rekadaya, Jawa) untuk menggerakkan tradisi
tulis di tengah-tengah ‘galaksi kelisanan’ yang menjadi ciri khas budaya Using,
baik dalam bentuk ritual, tembang, tari, dan yang lain. Penjelasan deskriptif
terhadap pernik-pernik dalam angklung Banyuwangi adalah kekuatan sekaligus
keunggulan yang memiliki dampak ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Bukan hanya bagi warga luar Banyuwangi, baik pelajar,
mahasiswa, guru, dosen, ataupun warga awam, tetapi juga bagi mereka yang
berasal dari Banyuwangi. Kehadiran tradisi tulis ini, lebih jauh lagi, bisa
menjadi prasasti yang menandakan bahwa kemeriahan dan kehebatan tradisi lisan
atau kesenian rakyat bisa didokumentasikan secara apik sehingga proses penyebarluasan
dan pewarisan setidaknya bisa merujuk pada data-data tertulis dalam buku ini.
Mengadopsi pemikiran Ong (2002), tradisi lisan (oral
tradition) memang memiliki keunggulan seperti (a) menyatu dalam kehidupan
manusia dengan subjek-subjek dinamis, (b) karya relatif komunikatif meskipun
sering muncul pengulangan, penyangatan, dan penambahan, (c) bersifat
konservatif/tradisionalis, butuh waktu lama untuk berubah, (d) diwarnai
pertarungan dan perjuangan untuk mengada, (e) cenderung empatetik dan partisipatoris,
(f) hidup dalam keseimbangan tanpa harus memelihara sesuatu yang sekiranya
tidak begitu relevan, dan (g) bersifat situasional.
Karakteristik lisan tersebut dengan mudah kita jumpai dalam
angklung Banyuwangi, baik sebagai garapan musikal-lagu maupun model
pertunjukan, serta masyarakat pendukungnya. Penamaan gending yang situasional
dan spontan, pengulangan-penyangatan-penambahan nada dalam aransemen musikal,
garapan yang mudah dimengerti, para musisi yang cukup dinamis, para pendukung
fanatik (angklung caruk), hidup di tengah-tengah tradisi agraris Banyuwangi,
dan banyak lagi yang lain.
Tentu bukan pekerjaan mudah untuk menuliskan kelisanan yang
cukup lentur, dinamis, dan konfliktual ke dalam bahasa tulis. Tradisi tulis
seringkali tak mampu mengungkap secara menyeluruh praktik-praktik kelisanan,
khususnya aspek-aspek yang seringkali tak bisa terbahasakan dalam logika
tulisan.
Meskipun berisiko mengurangi, menggeser, ataupun mengubah
kompleksitas kelisanan jagat angklung Banyuwangi, bagi saya, dengan prinsip
pendetilan untuk mencatat pernik-pernik laras, lagu, hingga partisipasi
penukung fanatik Elvin sudah menunjukkan kapasitasnya untuk mengungkap dinamika
kelisanan itu dalam tulisan.
Keterangan Gambar : Kang
Elvin bersama tokoh angklung. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan).
Kalau ada yang perlu diberikan catatan terkait pemindahan
galaksi kelisanan ke gugus tulisan dalam buku ini adalah penggambaran tentang
keghaiban dalam budaya angklung caruk, semacam battle musikal untuk menampilkan
yang terbaik di antara dua kelompok (Hendartha, 2021: 67-94).
Kalau terkait seluk-beluk alat musik, persiapan acara, dan
komposisi dan formasi pertunjukan, penjelasan dalam buku ini cukup gamblang,
bahkan lebih dari cukup—paparan yang cukup membantu buat para peneliti atau
pembaca yang ingin mengkaji pernik-pernik musikal dan pertunjukan. Keghaiban
dalam tradisi angklung caruk sebenarnya diulas cukup jelas berdasarkan
pengalaman beberapa tokoh angklung caruk, seperti Awik, Juwono, dan Rajuli.
Masing-masing pernah mengalami kejadian-kejadian di luar
nalar. Namun, semua bisa diatasi hanya dengan jampi-jampi yang disiapkan oleh
para tetua desa tempat kelompok angklung berasal. Artinya, segala hal yang
awalnya harmonis, ketika menjadi ajang yang tidak harmonis, bisa diharmoniskan
kembali dengan kekuatan yang sejatinya belajar dari alam.
Tentang keghaiban itu, Elvin mengatakan: “Cerita-cerita
tersebut sangat sulit dibuktikan keterkaitannya dengan ilmu magic. Bisa jadi
karena hal-hal yang sangat alami, misalnya penyakit yang belum bisa dipahami
secara medis, atau penyebab lainnya” (Hendartha, 2021: 94). Memang tidak ada salahnya
membangun asumsi kritis terkait peristiwa-peristiwa terkait hal-hal di luar
nalar manusia modern.
Sangat mungkin pula, ada jenis-jenis penyakit yang belum
dikenali oleh warga desa pada masa itu. Namun, mengatakan “sangat sulit
dibuktikan keterkaitannya dengan ilmu magic” juga terkesan menyederhanakan
persoalan dan mengabaikan dinamika manusia lokal yang memiliki kemampuan untuk
membangun relasi dengan kekuatan-kekuatan adikodrati dalam menghasilkan apa-apa
yang dianggap sebagai ilmu ghaib oleh manusia modern.
Akan lebih baik kalau dikembangkan analisis berdasarkan
kahanan yang berkembang pada masa-masa ketika angklung caruk jaya, termasuk
bagaimana fanatisme dan komunalisme menguat di antara para pendukungnya.
Penggunaan kekuatan adikodrati untuk mengganggu keberhasilan kelompok lawan
dalam pergelaran adalah sebuah ikhtiar untuk menyukseskan kelompok yang
digemari. Artinya, tidak perlu menggunakan persepsi modern untuk menjustifikasi
situasi dan pengalaman tersebut. (Bersambung)
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas,
dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)