Di Balik Pertunjukan Angklung Caruk Singkat: Ada Dimensi Bunyi dan RasaAngklung Musik Tabung Blambangan

Di Balik Pertunjukan Angklung Caruk Singkat: Ada Dimensi Bunyi dan Rasa

Semangan seniman Angklung Caruk berlatih menyambut acara pelucuran buku. (Foto: Adlin Mustika Alam)

Kabar.Banyuwangi.co.id - Sabtu tanggal 10 April 2021, merupakan hari yang sangat  saya tunggu-tunggu . Sejarah baru ditorehkan pak Elvin Hendratha, penulis buku  Angklung: Tabung Musik Blambangan. Dua tahun lamanya proses riset tentang musik Angklung Banyuwangi. Alhamdulilah buku tersebut telah selesai dengan sangat baik.

Acara peluncuran buku digelar di Rumah Budaya Kebo–keboan, Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh. Acara dimulai jam 09.00 WIB, berakhir hingga  jam 13.30 WIB. Jalannya acara berlangsung lancar dan hikmat, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Kalimat yang sangat sederhana diucapkan oleh Penulis, Elvin Hendratha yaitu dengan segala kerendahan hati terimalah souvenir dari saya untuk Banyuwangi.

Kalimat itu sebagai tanda, bahwa buku tersebut telah diluncurkan. Peluncuran buku ditandai Suara gemuruh gamelan, membuat susaana menjadi pecah dan sakral. Tiga grup angklung, bermain secara bersama dengan nada dan laras yang berbeda dalam satu harmonisasi. Hati terasa bahagia dan haru setelah penantian kurang lebih 2 tahun buku ini akhirnya bisa lounching.

Baca Juga :

Suara tetabuhan menyeruak, di celah-celah hembusan angin pagi yang begitu segar. Hembusan angin ditemani timpal tabuhan yang menyatukan harmoni menjadikan keabsahan suara angklung terdengar memberikan rasa semangat.

Gerak dan kelincahan satu angklung ditimpali dengan atraksi kendang yang sangat dahsyat, menjadikan energi positif. Bahkan beberapa orang jika mendengar bunyi gamelan, letih capek dan lelah akan hilang seketika. Kondisi ini sangat sering terjadi di masyarakat agraris maupun pesisiran penikmat seni diberbagai kalangan.

Susunan karya seni sebenarnya lebih kompleks dari setiap kesan yang ditangkap dari deskripsi. Secara tersirat kesatuan atau harmoni merupakan prinsip dasar dan cerminan.

Using, Masyarakat yang sangat terbuka dan mudah menerima kebudayaan lain tumbuh pesat di Bumi Blambangan. Namun masyarakat Using, juga pandai memilah kebudayaan luar yang masuk. Identitas Using yang dikenal kaya budaya alkulturasi, menjadikan tolak ukur kebudayaan lain dalam menghidupi dan menjaga kebudaannya.

Seperti disampaikan oleh Hasan Basri ketua DKB (Dewan Kesenian Blambangan), bahwa kesenian Blambangan, seni dan kebudayaan itu tumbuh dari bawah. Sebagai representasi karakter utama wong Using terbuka dan kopentitif menemukan titik tolaknya.

Kalimat tersebut saya kutip pada Pengantar buku Elvin. Memang benar orang Using itu terbuka namun keterbukaan itu juga akan disaring lagi oleh masayrakat diambil yang terbaik. Seperti lautan yang tedapat kotoran, sampah -sampah akan minggir dengan sendirinya ke tepi pantai.

Artinya semua seni yang masuk ke Banyuwangi yang tidak pas dengan kondisi Banyuwangi akan minggir dengan sendirinya. Peresmian buku dilanjutkan membagikan buku kepada wakil seniman dan instansi yang terlibat sebagai ucakan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya.


Keterangan Gambar : Acara Peluncuran Buku di Rumah Kebo-Keboan, Alasmalang, Singujuruh. (Foto: Adlin Mustika)

Suasana haru bercampur bahagia, saat melihat pakar angklung Alasmalang bernama mbah Kapi, dan mbah Deluk menjadi pusat perhatian. Beliau mendapatkan souvenir dan kejutan di tengah tengah acara. Kecintaannya terhadap angklung caruk secara tidak langsung, memberikan nafas bagi penerus untuk tetap eksis dalam menjaga kelestarian angklung caruk.

Foto serta bukti penting betapa sakralnya kesenian angklung caruk di bumi Blambangan. Mbah kapi, merupakan pelaku seni angklung caruk sebagai satu angklung. Satu angklung merupakan orang yang berperan penting dalam pagelaran angklung caruk. Kelincahan tangan memainkan angklung diracik sacara apik agar tidak dikelabuhi lawan mainya.

Mbah diluk sebagai pengggemar angklung caruk, beliau sangat senang jika ada anak muda yang belajar angklung. Doa yang selalu beliau panjatkan “iyowes Lik hang pinter ya Lik” (Ya sudah Nak, ya pinta ya Nak) sambil tersenyum bangga melihat kegigihan berlatih para generasi muda.

Kejadian seperti ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja, pelaku dan penggemar bagian dari melestarikan budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pertengahan acara digelar ada pertunjukan angklung caruk. Pertunjukan tersebut digelar secara detail, mulai dari babak pertama hingga terakhir. Sekar Tanjung Alasmalang bersama Sekar Wangi Pasinan, kedua grup tersebut ditunjuk untuk mengisi acara peluncuran buku serta memberikan simulasi contoh angklung caruk secara detail.

Hal lain yang terjadi di masyarakat, ini momentum yang sangat ditunggu- tunggu oleh berbagai kalangan masyarakat pecinta angklung caruk. Kedua grup tersebut ikut serta memeriahkan peluncuran buku karya Elvin Hendrata. Kegiatan ini merupakan hiburan sekaligus refleksi untuk kehidupan.

Mengobati rasa rindu terhadap angklung caruk yang telah lama eksistensinya mulai memudar. Angin segar bagi seniman angklung, diharapkan dengan munculnya buku ini, bisa memacu daya kreatifitas seniman untuk terus berkarya. 

Berbicara masalah musik berarti berbicara masalah hidup, karena musik bagian dari hidup. Kehidupan akan terasa hambar jika tidak diwarnai dengan musik. Sudut pandang perbedaan antra individu saling merendah, toleransi, dan tidak ada perbedaan khas, ras serta tahta. Gotong royong menjadi idium yang sangat sakral bagi masyarakat Using.

Bang Toh, panggilan akrab Tohan, senior angklung caruk tidak asing lagi di telinga panjak kesenian di kawasan Singojuruh dan sekitarnya. Sesepuh angklung pasinan yang sangat legendaris. Kecintaan melestarikan seni tradisi bahkan mampu menghafalkan berbgai gending-gending angklung klasik.

Bang Toh salah satu guru saya, berhasil mencetak generasi yang kokoh dan tangguh. Saksi Bang Toh dalam berkesenian juga ditulis di dalam bukunya Pak Elvin di episode perjalanan angklung Banyuwangi pada halaman 191.

Buku Angklung: Tabung Musik Blambangan awal perjalanan bagi literasi Angklung Banyuwangi. Baru satu perjalanan dan masih banyak perjalanan lagi yang harus ditempuh dalam catatan kecil dan fakta tentang musik Banyuwangi khususnnya.

Seperti menikmati musik masuk kedalam telinga menerobos gendang telinga dengan bunyi dan syair hal yang sangat indah. Musik itu sifatnya sederhana dan tidak rumit. Sederhana, ya kata yang tepat dalam menerjemahkan suatu pola metrum musik. Karena kerumitan dalam music itu muncul didalam diri dan pikiran orang tersebut.

Sederhana kata yang sangat kompleks menggambarkan kehidupan yang terjadi. Sederhana bisa menjadi rumit jika kita sendiri yang membuat rumit. Seperti halnya kisah Mbah Kapi dan Mbah Diluk, beliau hanya senang dan bahagia jika melihat seni yang terus eksis tanpa adanya kepentingan.

Sekali lagi saya ucapkan ini merupakan Sejarah bagi literasi seni di Banyuwangi. Walau banyak penulis sudah menulis tentang Banyuwangi, buku ini berbicara secara detail perjalanan seni Banyuwangi utamanya tentang musik angklung. Setiap unsur seni di Banyuwangi mengalami alkuturasi budaya yang sangat baik.

Pada dasarnya, seni itu berkembang tidak jalan ditempat. Tradisi berkembang dengan pola lingkungan serta gaya hidup masyarakatnya. Kesatuan dalam kesenian itu dianggap sama dengan keindahan. Meskipun pandangan ini jelas sepihak, tidak seorangpun mampu meyakinkan bahwa sesuatu dapat dikatakan indah tanpa kesatuan.

(Penulis: Adlin Mustika Alam, SSn, Ketua Komunitas Jiwa Etnika Blambangan (JEB), Singojuruh)