Taufiq Qurrohman, S.H. Advokat di Kantor Hukum Cicero. (Foto: Istimwa)
KabarBanyuwangi.co.id – Arena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menyuguhkan harapan bahwa kedaulatan rakyat akan tercipta dalam sebuah sistem pemerintahan serta melahirkan pemimpin yang mampu menjalankan roda pemerintahan dengan stabil, berpijak pada kepentingan bersama sesuai dengan amanah UUD 1945.
Tetapi harapan itu jarang sekali terwujud, fakta berkata lain, Pilkada yang seharusnya merupakan implementasi dari nilai – nilai demokrasi dengan tujuan terwujudnya pemerintahan lokal yang lebih adil, jujur dan demokratis justru seringkali dimanfaatkan oleh para elit untuk memelihara kekuasaan hingga tak terbatas, kerabat dan lingkaran keluarga diberikan ruang untuk menguasai berbagai jenis sumber daya politik, ekonomi bahkan mendominasi ruang-ruang birokrasi. Jika sudah demikian, maka bisa dipastikan pilkada sedang dalam cengkraman politik oligarki lokal.
Dominasi Petahana.
Melalui Surat Keputusan No. 1466 tahun 2024, KPU Banyuwangi
telah resmi menetapkan 2 (dua) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati
yakni pasangan Ipuk Fiestiandani - Mujiono dan Ali Makki Zaini - Ali Ruchi.
Meski pencalonanya penuh dengan drama dan tarik ulur kepentingan pasca Pilpres,
Ipuk-Mujiono mampu merangkul sejumlah partai mulai dari PSI, Nasdem, PKS, PAN,
Partai Golkar, Gerinda, Demokrat, PPP, Perindo, PKN, Partai Gelora, Partai
Ummat,Partai Buruh dan terakhir PDIP. Sedangkan di lain pihak, PKB dengan
segala keberaniannya mengusung pasangan Ali - Ali, yakni Ali Makki dan Ali
Ruchi sebagai penantang.
Tidak bisa dipungkiri, secara dukungan di atas kertas, Ipuk
- Mujiono unggul dengan menggandeng sederet partai politik dalam gerbongnya,
kekuatan itu tentu semakin memudahkan ia untuk mengeruk suara. Posisinya
sebagai petahana mendominasi seabrek sumber daya, sosial, ekonomi, politik
hingga sumber daya birokrasi. Disinilah kerja teliti pengawas dipertaruhkan,
dengan banyaknya sumber daya yang dimiliki, maka potensi kecurangan yang bisa
dilakukan juga semakin besar. Petahana bisa leluasa dalam melakukan politisasi
birokrasi dan memainkan peran sipil-sipil piaraan.
Belum lagi tindakan abuse of power yang sering menjadi isu
utama ditengah lemahnya penindakan pelanggaran Pilkada. Tentu hal ini menjadi
tantangan yang tidak mudah bagi Bawaslu Kabupaten Banyuwangi.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,
pengaturan tentang calon petahana bisa dikatakan masih minim. Di dalam
Undang-Undang ini, hanya satu pasal yang mengatur tentang petahana, yaitu di
pasal 71 ayat (2), ayat (3), ayat (5) dan ayat (6). Pasal ini pada pokoknya
mengatur larangan bagi petahana melakukan penggantian pejabat enam bulan
sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.
Petahana juga dilarang menggunakan kewenangan, program, dan
kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, hingga
sanksi bagi petahana apabila melanggar larangan, yakni pembatalan sebagai calon
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Soal sanksi yang akan dikenakan
kepada calon petahana apabila melanggar larangan di atas, juga tidak tegas dan
sekadar dionggokkan atau ditempelkan saja.
Sendiri, PKB punya nyali!
PKB bias dikatakan sebagai salah satu Partai politik yang
memiliki infrastruktur dan kekuatan kultural cukup mapan, mulai dari tingkat
elit hingga ke akar rumput. Infrastruktur tersebut bisa dilihat dari
kantong-kantong pergerakan yang berperan pada Pemilu kemarin (Februari 2024).
Meski dihantam seteru dengan pengurus-pengurus PBNU, hal
tersebut tidak sedikitpun mengurangi suara PKB terutama di basis warga Nahdliyin
dan justru PKB mampu meraup suara sangat signifikan dengan menduduki posisi
keempat perolehan suara secara nasional dan mendapat tambahan kursi di DPR RI.
Ditengah maraknya isu calon tunggal dan kotak kosong
Pilkada dibeberapa daerah, PKB ternyata mampu menawarkan pilihan dan
menghadirkan figur baru kepada masyarakat dalam perhelatan Pilkada Banyuwangi
dengan mengusung dan mendukung pasangan Ali - Ali.
Tentu keberanian sikap politik PKB ini layak untuk
diapresiasi. Bayangkan saja jika di Banyuwangi hanya ada calon tunggal, tentu
akan menimbulkan kekhawatiran terkait partisipasi pemilih dan kualitas
demokrasi yang semakin buruk.
Di lain hal, Putusan Mahkamah Konstitusi
No.60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah yang membawa
angin segar demokrasi ternyata tidak disambut sebagai sesuatu yang istimewa
bagi beberapa elit partai. Putusan MK yang seharusnya bisa dimanfaatkan partai
untuk mengangkat kader-lader terbaiknya di arena Pilkada ternyata nihil.
Mungkin saja bagi mereka yang berkiblat pada pragmatisme,
politik memang tidak butuh aturan main, politik adalah arena tarung bebas,
siapa punya amunisi dan popularitas dialah yang akan berkuasa tanpa batas.
Bagaimana dengan Gus Makki?
KH. Ali Makki Zaeni atau Gus Makki, mantan ketua PCNU
Banyuwangi periode 2018-2023, lima tahun menjadi nahkoda PCNU, lembaga dan
banom-banom NU bergerak secara linear. Program-program kerja organisasi yang
digagas direalisasikan dengan konsep gotong royong.
Yang paling menarik dari deretan inovasinya adalah program
“Sobo Deso” (sejenis program Bunga Desa Bupati tetapi tidak menggunakan
dukungan APBD dan APBDes). Program “Sobo Deso” adalah ruang jagongan bareng,
ruang untuk mendengarkan keluh kesah sesama warga NU struktural maupun kultural
yang tersebar di 189 Desa yang ada dikabupaten Banyuwangi. Dikalangan warga
nahdliyin, program ini disambut baik dan antusias. Mengingat PCNU sebelum
kepengurusan Gus Makki merupakan organisasi yang cukup melangit.
Pada Pilkada Banyuwangi tahun 2019, yang bisa dibilang sebagai
Pilkada Derby Tegalsari, Gus Makki menentukan sikap politik dengan mendukung
paslon Yusuf-Reza melawan Ipuk-Sugirah. Meski paslon Yusuf-Reza kalah, bisa
disimpulkan, keterlibatan Gus Makki mampu mendorong perolehan suara hingga
47,57 persen atau 398.113 suara.
Disisi lain, sikap politik tersebut justru menjadi percikan
seteru antara PCNU Banyuwangi dengan pengurus PBNU, Gus Makki dianggap
melanggar aturan organisai dengan terlibat dalam politik praktis. Namun menurut
isu yang berkembang dan kasak - kusuk dari kalangan internal NU, teguran yang
dilayangkan PBNU ternyata lebih kepada perbedaan arah dukungan politik antara
PBNU dan PCNU semata.
Langkah politik Gus Makki yang mendukung Yusuf-Reza di
Pilkada Banyuwangi tahun 2019 lalu kemudian mencalonkan diri sebagai Bupati
pada Pilkada serentak tahun 2024 ini setidaknya telah mampu membuka pikiran
publik untuk menelaah secara kritis, bahwa sikap dan komitmen adalah salah satu
modal paling dasar dalam politik.
Sikap politik Gus Makki selama ini bisa disimpulkan sebagai
bentuk penolakan terhadap politik oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan,
dan itu memang layak untuk dilawan. Karena kesempatan berkuasa harus diberikan
kepada semua pihak yang mampu dan dalam jangka waktu yang proporsional,
sehingga tidak terjadi kejumudan kekuasaan.
Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas
Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19 dengan adagium-nya yang terkenal
menyatakan : "power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut
cenderung korup secara absolut)."
(Penulis: Taufiq Qurrohman, S.H. Advokat di
Kantor Hukum Cicero, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Surabaya)