ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas, dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (4)Kemampuan Membaca Zaman: Dari Urusan Politik hingga Industri Rekaman

ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas, dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (4)

Suasana bedah buku Angklung: Musik Tabung Blambangan. (Foto: Adlin Mustika)

KabarBanyuwangi.co.id - Perjalanan dari angklung paglak ke angklung Bali-balian, caruk, dwi laras, daerah, pengiring tari kreasi hingga angklung anyar, bukanlah sekedar peristiwa kronologis-historis yang menandai pergantian era (Hendartha, 2021:  57-124).

Lebih dari itu, perubahan demi perubahan yang berlangsung menandakan kemampuan para seniman membaca zaman yang ditandai dengan kesiapan untuk mengubah komposisi alat musik hingga laras. Pada masa awal, angklung paglak hanya terdiri atas angkung yang dimainkan di atas paglak, tempat duduk di ketinggian, baik di pinggir sawah maupun di depan rumah, yang disangga tiang bambu.

Ini sesuai dengan tradisi dan kondisi kehidupan agraris yang cukup sederhana dan banyak waktu senggang. Masuknya elemen gamelan saron, selentem, peking, gong, kendang, dan lain-lain, seperti angklung Bali sehingga angklung Banyuwangi sering disebut tabuhan atau angklung Bali-Balihan. Sebagian pihak mengatakan karena pengaruh Mataram Jawa Tengah.

Baca Juga :

Apakah ini semata-mata meniru? Tentu tidak. Peniruan yang berlangsung adalah moda kreativitas untuk menyiasati hegemoni kerajaan-kerajaan Bali seperti Buleleng dan Mengwi serta Mataram Islam. Bisa dikatakan, ada kepentingan politik dalam siasat estetik penambangan gamelan dan alat-alat lain dalam komposisi angklung Bali-balian.

Lahirnya angklung dwilaras-enggabungan alat-alat berlaras pelog dan slendro dalam satu komposisi-pada tahun 1960-an merupakan respons terhadap ketenaran angklung yang dikelola Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang cukup terkenal di Banyuwangi (Hendartha, 2021: 94-96).

Tema tembang angklung dwilaras yang berafiliasi ke Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) difokuskan pada kebangsaan, sedangkan tema anklung Lekra bertema kerakyatan. Kehebatan para seniman dan sastrawan yang berafiliasi ke Lekra dalam menciptakan karya lagu berbasis musik angklung memang tidak perlu diragukan lagi.

Muhammad Arif dan kawan-kawannya memang cukup lihai dalam menciptakan lagu bertema masalah rakyat kecil dan merespons alam dengan alunan musik angklung. Dwilaras merupakan counter-culture yang dilakukan LKN berdimensi politik.


Keterangan Gambar : Kang Elvin dan moderator Rosdi Bachtiar dalam acara diskusi buku Angklung. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan)

Terlepas dari pihak-pihak yang tidak suka dengan masuknya kesenian ke dalam tegangan politiko-ideologis dengan alasan bisa merugikan para seniman dan kesenian mereka, realitas angklung dwilaras menunjukkan bahwa para seniman bisa mengembangkan kreastivitas berbasis lokalitas yang diselimuti kepentingan politik sekaligus memperkaya eksistensi kesenian dan budaya dalam masyarakat.

Sejatinya, di antara para seniman yang ‘berbeda secara kreatif’ tersebut tidak pernah terlalu mempermasalahkan perbedaan ideologi partai. Politik bagi mereka adalah spirit untuk membuat karya-karya yang berkontribusi terhadap perkembangan budaya Banyuwangi.

Ketika rezim Orde Baru di Pemkab Banyuwangi melalui Bupati Djoko Supaat Slamet mengumpulkan kembali para seniman angklung untuk membentuk apa yang kemudian terkenal dengan angklung daerah, alasan the end of ideology menempatkan kesenian ini tidak boleh lagi dibawa ke ranah politik dukung-mendukung partai politik (Hendratha, 2021: 96-101).

Meskipun terlihat mengedepankan netralitas dan kreativitas seniman, sampai-sampai Presiden Suharto dan Ibu Tien kesengsem, bukan berarti angklung daerah tidak lagi membawa kepentingan politik. Sebaliknya, kepentingan politik rezim Orde Baru adalah membawa kesenian Blambangan untuk tidak terlibat politik.

Ketidakterlibatan ini perlahan-lahan menjadikan seniman aktif dalam ranah pengembangan kreativitas musikal, tetapi minim kekritisan tematik tembang dalam memahami persoalan-persoalan yang berlangsung dalam masyarakat, seperti kemiskinan dan ketidakadilan.

Pada tahapan inilah kita bisa menyaksikan deideologisasi, sebuah usaha untuk mengebiri keberanian para seniman angklung dalam mengekspresikan ide-ide kritis mereka dengan alasan pengaruh ideologi tertentu-utamanya yang Kiri-bisa menjadikan kreativitas seni dimobilisasi dan merugikan seniman.

Para seniman pun masuk ke dalam industri rekaman yang digerakkan oleh kepentingan Negara. Pada perkembangan berikutnya, para seniman angklung-melanjutkan keterlibatan mereka dalam industri rekaman-juga menggarap komposisi yang direkam untuk kepentingan tari garapan (Hendartha, 2021: 103-119).

Ini menandai babak baru kolaborasi musisi angklung dengan para koreografer Banyuwangi. Meskipun demikian, yang muncul di cover kaset biasanya adalah nama koreografernya, bukan para musisinya. Dalam hal ini, para musisi masih menempati posisi subordinat karena tujuan dijualnya kaset-kaset tersebut adalah untuk para pelajar atau siswa sanggar yang belajar tari, sehingga nama koreografer lebih menjanjikan secara ekonomis.


Keterangan Gambar : Gelaran angklung caruk antara angklung Alasmalang dan Pasinan, Singojuruh. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan)

Larut dalam musik pengiring tari menjadikan musik angklung Banyuwangi tidak banyak menelorkan karya-karya lagu yang benar-benar populer di masyarakat. Angklung, perlahan-lahan, kalah pamor dengan kendang kempul, sebuah genre musik lokal yang menyerap ketenaran dangdut dengan menekankan beat pada kendang dan gamelan kempul.

Letupan kreatif dan kritis dari angklung Banyuwangi baru muncul pada tahun 2002, ketika sekelompok seniman muda membentuk POB (Patrol Opera Banyuwangi) mengkolaborasikan angklung dan gamelan dengan instrumen musik modern. Angklung dan gamelan pun disesuaikan dengan kepentingan suara para penyanyinya ketika proses mastering.

Meskipun, pada awalnya, mendapatkan ejekan sebagai musik yang kurang bermutu, kehadiran POB mampu memberikan warna tersendiri dalam industri musik Banyuwangi yang keluar dari pakem kendang kempul.

Apa yang harus diapresiasi dari lagu-lagu POB adalah keberanian mereka untuk menghadirkan lagu-lagu berdimensi kritis untuk menggugah kesadaran sosial, politik, dan historis masyarakat. Lagu seperti Layangan mengingatkan akan pentingnya untuk menjaga toleransi meskipun berbeda pilihan politik.

Sementara, lagu Tetese Eluh menceritakan kesedihan akibat tragedi politik, seperti G 30 S yang menelan banyak korban di Banyuwangi dan di wilayah-wilayah lain. Keberanian untuk ekpslorasi garapan musikal dan lagu merupakan kekuatan dan energi yang sudah semestinya dipelihara oleh para seniman muda, agar mereka tidak hanya terjebak ke dalam isu-isu meloisme. (Bersambung)

(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)