Suasana bedah buku Angklung: Musik Tabung Blambangan. (Foto: Adlin Mustika)
KabarBanyuwangi.co.id - Perjalanan dari angklung paglak ke angklung Bali-balian, caruk, dwi laras, daerah, pengiring tari kreasi hingga angklung anyar, bukanlah sekedar peristiwa kronologis-historis yang menandai pergantian era (Hendartha, 2021: 57-124).
Lebih dari itu, perubahan demi perubahan yang berlangsung menandakan kemampuan para seniman membaca zaman yang ditandai dengan kesiapan untuk mengubah komposisi alat musik hingga laras. Pada masa awal, angklung paglak hanya terdiri atas angkung yang dimainkan di atas paglak, tempat duduk di ketinggian, baik di pinggir sawah maupun di depan rumah, yang disangga tiang bambu.
Ini sesuai dengan tradisi dan kondisi kehidupan agraris
yang cukup sederhana dan banyak waktu senggang. Masuknya elemen gamelan saron,
selentem, peking, gong, kendang, dan lain-lain, seperti angklung Bali sehingga
angklung Banyuwangi sering disebut tabuhan atau angklung Bali-Balihan. Sebagian
pihak mengatakan karena pengaruh Mataram Jawa Tengah.
Apakah ini semata-mata meniru? Tentu tidak. Peniruan yang
berlangsung adalah moda kreativitas untuk menyiasati hegemoni kerajaan-kerajaan
Bali seperti Buleleng dan Mengwi serta Mataram Islam. Bisa dikatakan, ada
kepentingan politik dalam siasat estetik penambangan gamelan dan alat-alat lain
dalam komposisi angklung Bali-balian.
Lahirnya angklung dwilaras-enggabungan alat-alat berlaras
pelog dan slendro dalam satu komposisi-pada tahun 1960-an merupakan respons
terhadap ketenaran angklung yang dikelola Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
yang cukup terkenal di Banyuwangi (Hendartha, 2021: 94-96).
Tema tembang angklung dwilaras yang berafiliasi ke Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN) difokuskan pada kebangsaan, sedangkan tema anklung
Lekra bertema kerakyatan. Kehebatan para seniman dan sastrawan yang berafiliasi
ke Lekra dalam menciptakan karya lagu berbasis musik angklung memang tidak
perlu diragukan lagi.
Muhammad Arif dan kawan-kawannya memang cukup lihai dalam
menciptakan lagu bertema masalah rakyat kecil dan merespons alam dengan alunan
musik angklung. Dwilaras merupakan counter-culture yang dilakukan LKN
berdimensi politik.
Keterangan Gambar : Kang
Elvin dan moderator Rosdi Bachtiar dalam acara diskusi buku Angklung. (Foto: Dok.
Ikwan Setiawan)
Terlepas dari pihak-pihak yang tidak suka dengan masuknya
kesenian ke dalam tegangan politiko-ideologis dengan alasan bisa merugikan para
seniman dan kesenian mereka, realitas angklung dwilaras menunjukkan bahwa para
seniman bisa mengembangkan kreastivitas berbasis lokalitas yang diselimuti
kepentingan politik sekaligus memperkaya eksistensi kesenian dan budaya dalam
masyarakat.
Sejatinya, di antara para seniman yang ‘berbeda secara
kreatif’ tersebut tidak pernah terlalu mempermasalahkan perbedaan ideologi
partai. Politik bagi mereka adalah spirit untuk membuat karya-karya yang
berkontribusi terhadap perkembangan budaya Banyuwangi.
Ketika rezim Orde Baru di Pemkab Banyuwangi melalui Bupati
Djoko Supaat Slamet mengumpulkan kembali para seniman angklung untuk membentuk
apa yang kemudian terkenal dengan angklung daerah, alasan the end of ideology
menempatkan kesenian ini tidak boleh lagi dibawa ke ranah politik
dukung-mendukung partai politik (Hendratha, 2021: 96-101).
Meskipun terlihat mengedepankan netralitas dan kreativitas
seniman, sampai-sampai Presiden Suharto dan Ibu Tien kesengsem, bukan berarti
angklung daerah tidak lagi membawa kepentingan politik. Sebaliknya, kepentingan
politik rezim Orde Baru adalah membawa kesenian Blambangan untuk tidak terlibat
politik.
Ketidakterlibatan ini perlahan-lahan menjadikan seniman
aktif dalam ranah pengembangan kreativitas musikal, tetapi minim kekritisan
tematik tembang dalam memahami persoalan-persoalan yang berlangsung dalam
masyarakat, seperti kemiskinan dan ketidakadilan.
Pada tahapan inilah kita bisa menyaksikan deideologisasi,
sebuah usaha untuk mengebiri keberanian para seniman angklung dalam
mengekspresikan ide-ide kritis mereka dengan alasan pengaruh ideologi tertentu-utamanya
yang Kiri-bisa menjadikan kreativitas seni dimobilisasi dan merugikan seniman.
Para seniman pun masuk ke dalam industri rekaman yang
digerakkan oleh kepentingan Negara. Pada perkembangan berikutnya, para seniman
angklung-melanjutkan keterlibatan mereka dalam industri rekaman-juga menggarap
komposisi yang direkam untuk kepentingan tari garapan (Hendartha, 2021:
103-119).
Ini menandai babak baru kolaborasi musisi angklung dengan
para koreografer Banyuwangi. Meskipun demikian, yang muncul di cover kaset
biasanya adalah nama koreografernya, bukan para musisinya. Dalam hal ini, para
musisi masih menempati posisi subordinat karena tujuan dijualnya kaset-kaset
tersebut adalah untuk para pelajar atau siswa sanggar yang belajar tari,
sehingga nama koreografer lebih menjanjikan secara ekonomis.
Keterangan Gambar : Gelaran
angklung caruk antara angklung Alasmalang dan Pasinan, Singojuruh. (Foto: Dok.
Ikwan Setiawan)
Larut dalam musik pengiring tari menjadikan musik angklung
Banyuwangi tidak banyak menelorkan karya-karya lagu yang benar-benar populer di
masyarakat. Angklung, perlahan-lahan, kalah pamor dengan kendang kempul, sebuah
genre musik lokal yang menyerap ketenaran dangdut dengan menekankan beat pada
kendang dan gamelan kempul.
Letupan kreatif dan kritis dari angklung Banyuwangi baru
muncul pada tahun 2002, ketika sekelompok seniman muda membentuk POB (Patrol
Opera Banyuwangi) mengkolaborasikan angklung dan gamelan dengan instrumen musik
modern. Angklung dan gamelan pun disesuaikan dengan kepentingan suara para
penyanyinya ketika proses mastering.
Meskipun, pada awalnya, mendapatkan ejekan sebagai musik
yang kurang bermutu, kehadiran POB mampu memberikan warna tersendiri dalam
industri musik Banyuwangi yang keluar dari pakem kendang kempul.
Apa yang harus diapresiasi dari lagu-lagu POB adalah
keberanian mereka untuk menghadirkan lagu-lagu berdimensi kritis untuk
menggugah kesadaran sosial, politik, dan historis masyarakat. Lagu seperti
Layangan mengingatkan akan pentingnya untuk menjaga toleransi meskipun berbeda
pilihan politik.
Sementara, lagu Tetese Eluh menceritakan kesedihan akibat
tragedi politik, seperti G 30 S yang menelan banyak korban di Banyuwangi dan di
wilayah-wilayah lain. Keberanian untuk ekpslorasi garapan musikal dan lagu
merupakan kekuatan dan energi yang sudah semestinya dipelihara oleh para
seniman muda, agar mereka tidak hanya terjebak ke dalam isu-isu meloisme. (Bersambung)
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas,
dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)