(Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Asrama Inggrisan merupakan salah satu obyek cagar budaya yang bakal direvitalisasi oleh Pemkab Banyuwangi pada tahun depan. Untuk menyongsong hal tersebut, berbagai kajian digalakkan dengan melibatkan sejumlah pakar.
Salah satunya dengan menggelar seminar yang mendatangkan sejumlah narasumber. Di antaranya menghadirkan sejarawan JJ Rizal dan arsitek sekaligus peneliti tata kota, Marco Kusumawijaya.
Seminar tersebut dibuka Bupati
Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, di Pelinggihan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Banyuwangi, Minggu (17/12/2023).
“Rangkaian seminar ini menjadi
bagian dari konsolidasi publik sebelum nanti Asrama Inggrisan ini kita
revitalisasi tahun depan,” ungkap Ipuk.
Asrama Inggrisan tersebut akan
dipugar sebagaimana ketentuan perundangan yang mengatur tentang cagar budaya.
Orisinalitas bangunannya akan tetap dipertahankan.
“Nantinya iki akan menjadi
destinasi wisata sejarah dan edukasi yang semakin meningkatkan daya tarik
wisatawan,” tambah Bupati Ipuk.
Asrama Inggrisan merupakan
komplek perkantoran telegrap yang menjadi penghubung dunia. Pada 1871, untuk
pertama kalinya, Eropa dengan Australia tersambung kabel telegrap bawah laut.
Di mana saat itu, Banyuwangi menjadi titik penghubungnya.
“Kabel bawah laut ditarik dari
port Darwin di Australia sampai ke Banyuwangi. Dari Banyuwangi lantas disambung
ke Singapura yang telah tersambung ke Eropa,” terang JJ Rizal yang merupakan
pemilik penerbitan buku sejarah Komunitas Bambu itu.
Dengan tersambungnya jaringan
telegrap dunia tersebut, lanjut Rizal, menjadikan industri pers berkembang
lebih cepat. Hal ini menjadi pemantik nasionalisme yang memuncak di abad 20.
“Jaringan telegrap yang berpusat
di Banyuwangi, selain terhubung ke dunia, juga menghubungkan sejumlah pulau di
Indonesia. Ini turut berkontribusi dalam melahirkan kesadaran nasional,”
terangnya.
Sementara itu, Marco Kusumawijaya
lebih banyak mengulas tentang bagaimana kesatuan sebuah tata ruang dari
keberadaan bangunan-bangunan heritage. Setiap pemugaran bangunan cagar budaya
harus memperhatikan pelestariannya.
“Tidak sekadar melestarikan
bangunannya. Tapi, juga melestarikan pula kawasannya. Sehingga fungsi dan
estetika dari cagar budaya itu tetap terjaga,” jelas penulis buku ‘Kota-Kota di
Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak’.
Fungsi dari bangunan cagar budaya
itu sendiri, imbuh peneliti Rujak Centre for Urban Studies tersebut, menjadi
penanda akan memori kolektif. Baik memori manis ataupun memori pahit yang
terjadi di masa silam.
“Generasi sekarang bisa belajar
dari peninggalan-peninggalan tersebut,” tegasnya.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan
Hasan Basri mengapresiasi kegiatan tersebut. Menurutnya, kajian kesejarahan
tentang bangunan-bangunan cagar budaya di Banyuwangi perlu terus digalakkan.
“Ini penting untuk menggugah kesadaran kita bersama,” pungkasnya. (humas/kab/bwi)