Benny Berliando atau Bens Kamela akan touring. (Foto: Dok akun FB Bens Kamela)
KabarBanyuwangi.co.id - Cinta orang-orang Banyuwangi terhadap kesenian asli tanah kelahirannya, tidak perlu diragukan lagi. Kendati lama hidup di rantauan, dengan budaya jauh dari tradisional, namun bila diminta pendapat dan sikapnya terhadap kesenian daerahnya, pasti akan membela mati-matian.
“Saya tidak terima, kalau kesenian Angklung Caruk mati suri. Apalagi mati beneran, saya sebagai orang Using Deles sangat tidak terima. Ini kesenian asli Banyuwangi, dasar dari semua seni ‘Tabuhan Khas Banyuwangi’,” kata Benny Setiawan kepada KabarBanyuwangi.co.id, Selasa (1/6/2021).
Pria kelahiran Kampung Kempon, Kelurahan Panderejo
Banyuwangi Kota ini, sudah lama tinggal di Denpasar Bali. Kalau dilihat dari
penampilan sehari-hari, memang tidak tampak sebagai orang Using. Namun bila
diajak ngomong tentang Banyuwangi dan keseniannya, seperti tidak ada habisnya.
“Saya waktu kecil memang pernah menjadi penyanyi Orkes
Melayu (OM) Mutiara, sedikit banyak kenal dengan pelaku seni Banyuwangi Tempoe
Doeloe. Saya kagum terhadap almarhum Sutedjo Hadi dari Sawahan, karena dedikasi
dan ketulusan dalam nguri-nguri Kesenian Angklung Banyuwangi cukup tinggi,”
tambahnya.
Penampilan Angkulung Caruk 10 April 2021 yang
dilihat terakhir. (Foto: Istimewa)
Pria yang Hobby Touring dengan Motor Gede (Moge) Harley
Davidson ini, saat mendapat undangan Peluncuran Buku Angklung, Tabung-Musik Blambangan
di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, 10 April 2021 lalu, rela meluncur
tengah malam dari Denpasar niak Harley Davidson kesayangannya.
“Saat itu, saya berangkat dari Denpasar pukul 02.00 pagi.
Tiba di Alasmalang pukul 09.00, setelah istirahat 1 jam di Warengan, rumah
saudara saya,” kata pria yang akrab dipanggil Benny Berliando.
“Saya tertarik datang pada cara peluncuran buku yang langka
ini, sekaligus penasaran terhadap penampilan Angklung Caruk. Alhamdulillah
terpuaskan, setelah puluhan tahun tidak menonton,” imbuhnya.
Benny mengaku terakhir menonton Angklung Caruk pada tahun
1980-an di Gesibu Blambangan, hingga hafal nama Badut atau penari angklung
laki-laki. Salah satunya almarhum Kik Paqih dari Mangir, karena cara menari
yang lincah, tegas dengan sifat laki-lakinya, namun kadang-kadang juga lucu dan
menggelitik.
“Setelah melihat penampilan Angklung Caruk Alasmalang dan
Pasinan Singojuruh, saya seperti berada di demensi lain. Tidak ada kata yang
bisa mengungkapkan kekaguman dan kesenangan saya, atas kesenian yang dimainkan
seluruhnya oleh laki-laki ini,” katanya saat dimintai pendapatnya tentang
Angklung Caruk yang terakhir dilihatnya.
Beny Setiawan bersama penulis saat melihat
penampilan Angklung Caruk 10 April 2021. (Foto: Istimewa)
Oleh karena itu, Benny berharap kepada Pemerintah Daerah
Banyuwangi, serta instansi dan Lembaga terkait, agar ada upaya jelas dalam
melestarikan Kesenian Angklung Caruk. Misalnya dengan memberi ruang dan
kesempatan Angklung Caruk tampil, apalagi bisa dipertahankan seperti penampilan
semula.
“Saya saat membaca buku Angklung, Tabung-Musik Blambangan,
karya Elvin Hendratha, seperti membuka cakrawala di masa lampau. Saat saya
masih kecil, hingga berkesenian. Meskipun buku ini masih belum sempurna, tetapi
sudah menjadi pase di tengah gurun sahara. Semoga kelak muncul karya-karya baru
dari Elvin dan lare-lare Banyuwangi lain,” pungkas Benny. (sen)