Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB, Dinas Kesehatan, dan Pengadilan Agama di Banyuwangi teken MoU. (Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Pemkab Banyuwangi menunjukkan
keseriusan dalam mencegah dan menanggulangi pernikahan dini yang marak terjadi.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah merancang skema memperketat pengurusan
dispensasi nikah.
Pemkab menggandeng sejumlah instansi untuk melakukan upaya
tersebut. Kerjasama tersebut tertuang dalam MoU yang ditandatangani antara
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan KB Henik Setyorini, Kepala Dinas
Kesehatan Amir Hidayat dan Kepala Pengadilan Agama, Husnul Muhyidin, di
Banyuwangi, Rabu (25/9/2024).
Kepala Dinsos PPKB Henik Setyorini menjelaskan MoU itu
merupakan bagian dari program perlindungan anak dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Dalam kesepakatan itu tertuang dua syarat tambahan yang
wajib dipenuhi sebelum seseorang mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan
Agama.
Syarat pertama adalah mengantongi surat rekomendasi
kematangan psikologis dari psikolog yang telah ditunjuk Dinsos PPKB. Rekom
tersebut bertujuan mengukur tingkat kematangan mental dari pemohon dispensasi
nikah.
Syarat kedua adalah melampirkan surat rekomendasi hasil
pemeriksaan kesehatan dan kematangan reproduksi. Pemeriksaan kesehatan itu
nantinya difasilitasi oleh Dinkes.
"Hasil asesmen nantinya akan menjadi pertimbangan
hakim untuk menentukan pemohon layak diberi dispensasi kawin atau tidak,"
kata Henik.
Henik menambahkan tujuan utama dari skema itu bukan dalam
rangka mempersulit masyarakat. Justru bertujuan untuk melindungi anak-anak dari
resiko pernikahan dini.
Menurutnya, pernikahan dini memiliki berbagai dampak
negatif yang signifikan, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial. Remaja
yang menikah dini seringkali belum siap secara fisik untuk kehamilan. Hal ini
meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan.
“Belum lagi perkara kesehatan mental. karena tanggung jawab
rumah tangga yang berat di usia muda bisa menimbulkan tekanan mental, seperti
kecemasan, depresi, atau stres. Ya yang ujungnya berakhir perceraian. Ini harus
dihindari,” ujar Henik.
Pernikahan dini cenderung juga meningkatkan risiko
kekerasan dalam rumah tangga. Kurangnya pengalaman dan kedewasaan membuat
mereka lebih rentan terhadap pengendalian atau eksploitasi dari pasangan.
“Secara ekonomi kalau belum matang, bisa saja mereka terjebak
dalam siklus kemiskinan, yang dapat berlanjut hingga generasi berikutnya,” kata
Henik.
Henik berharap melalui MoU ini target perkawinan usia anak
usia dini bisa ditekan. Angka perceraian, kematian ibu dan bayi, angka stunting
juga bisa turun.
"Kami berkomitmen untuk terus memantau dan
mengevaluasi efektivitas program yang dilaksanakan, demi tercapainya tujuan
jangka panjang dalam melindungi anak dan remaja," imbuhnya. (humas/kab/bwi)