Merasa Ditolong dan Dibela Pemuda Using Saat Dalam Keadaan Berbahaya (3)Angklung Caruk

Merasa Ditolong dan Dibela Pemuda Using Saat Dalam Keadaan Berbahaya (3)

Karsono, menyaksikan Festival Angklung Caruk 2018 lalu. (Foto: Dok/Pribadi)

KabarBanyuwangi.co.idSebagai anak muda, selain tetap bergaul dengan para seniman angklung senior yang menjadi misi utama penelitianya, Karsono juga bergaul akrab dengan pemuda Alasmalang. Bahkan nyaris jadi korban pengeroyokan pemuda lain desa, saat ikut Joged pada pertunjukan Janger Berdendang.

Berikut lanjutan kisah Karsono, M.Sn Dosen Pendidikan Seni, Prodi PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang. (Redaksi).

Kemampuan bahasa ini meningkatkan keberanian interaksi dan komunikasi dengan seniman, terutama seniman angklung caruk Sekar Tanjung. Bersama sahabat dekat saya Mas Eko (cucu panjak Janger Pak Sanur) dan Mas Tugirin (yang sekarang agak sulit menggerakkan motoriknya karena kecelakaan beberapa tahun lalu).

Baca Juga :

Saya berkunjung ke rumah-rumah panjak hampir setiap hari untuk mewawancarai apapun yang bekaitan dengan angklung caruk. Jika ada yang kurang tepat dalam saya menanyakan sesuatu, maka kedua sahabat saya tersebut membantu memperbaiki pertanyaan saya agar dimengerti narasumber.

Tentu saja ciri khas keakraban dalam wawancara adalah kopai (Kopi) dan rokok, bahkan demi menghemat biaya saya biasa beli tembakau asli yang baru dipanen dan baru digiling, meskipun efeknya terbatuk-batuk.

Nara sumber saya waktu itu antara lain: Pak Supandi, Pak Surapi, Pak Eksa Wasono, Pak Awi, Alm. Mbah Kabul, Pak Juwono, Pak Kapi, Pak Bambang, dan Pak Sanuri semuanya seniman Alasmalang.

Lalu Mas Mulyadi, Mas Wana’i, Pak Akwan (Bolot, Desa Aliyan), Pak Sumidiarto (adik Pak Sahuni Singojuruh), Alm. Ibu Poniti (Genitri, Singojuruh), Alm. Pak Sahuni, Pak Hasnan Singodimayan. Untuk narasumber akademisi saya waktu itu menemui Alm. Prof Dr. Ayu Sutarto Universitas Jembar (UNEJ).


Diskusi pelarasan angklung bersama Cak Andori di Glagah. (Foto: Dok Pribadi)

Dari beliau-beliau semua, baik sahabat dan sedulur-sedulur saya di Alasmalang, maupun dari para narasumber, dan sahabat Using dari desa-desa lain saya mendapatkan banyak ilmu mengenai angklung caruk khususnya, dan mengenai masyarakat Using pada umumnya.

Saya merasa di rumah (feel home) ketika berada di Alasmalang dan di Banyuwangi, bahkan sampai sekarang (Beberapa kali saya kunjung ke Alasmalang untuk melihat kebo-keboan tahun 2013 dan tahun 2018 menonton festival angklung caruk, hingga tahun 2021 lalu melakukan penelitian mengenai festival angklung caruk). 

Stereotype negatif masyarakat Using yang keras, tertutup, penuh curiga, penuh dendam dan ahli mencelakakan orang lewat mejik santet, yang ketika saya akan berangkat sempat dihembuskan beberapa teman, ternyata tidak pernah saya temukan di lapangan.

Justru sambutan yang baik, ramah, akrab, nyemedulur (mendekat sebagai saudara), dan melindungi menjadi ekspresi budaya yang saya rasakan dan temukan dari masyarakat Using.

Pernah di suatu malam di suatu pertunjukan Janger di daerah Singojuruh, saya diajak berjoget teman-teman pemuda di samping panggung. Saya pun berjoget, namun sayang saya bersenggolan dengan beberapa kelompok pemuda dari lain desa. Hampir terjadi keributan namun pemuda Alasmalang melindungi saya dan memberikan penjelasan hingga akhirnya kami pun damai.


Saat mebahas Buku Angklung Musik-Tabung Blambangan 10 April 2021. (Foto: Dok/Artevac)

Berbagai hal positif yang saya terima dari masyarakat Using, selama tinggal di sana inilah yang membekas kuat dalam kehidupan saya. Bahkan hingga saat ini. Saya tidak menampik memang ada hal-hal berbau mejik dan mistis dalam kehidupan masyarakat.

Saya pernah diajak melihat dan menjamas rantai besi kuning, mendengar cerita-cerita adanya santet, diberi beberapa doa-doa pengasihan (pelet), hingga diberi azimat ikat kepala batik kuno dari salah satu seniman. Namun berbagai hal tersebut tergantung bagaimana digunakan, jika untuk kejahatan maka buruk dan jika untuk kebaikan maka tentunya baik.

Selepas penelitian Mikroriset selesai saya pun berpamitan dan berjanji tidak pernah akan melupakan Alasmalang, bahkan saya menganggapnya sebagai kampung halaman saya sendiri.

Sesampai di Solo dan setelah saya melaporkan hasil mikro-riset saya maka beberapa poin laporan tersebut diterima sebagai bahan penyusunan tugas akhir skripsi saya berjudul “Membangun Identitas: Kompetisi Musikal Pertunjukan Angklung Caruk Banyuwangi”. (Bersambung)