Pasar "Wit-Witan" sekarang terlihat lengang. (Foto: Mamet Ndut)
KabarBanyuwangi.co.id - Dua tahun lalu saat bersama teman-teman Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) wilayah Kecamatan Singojuruh memulai kegiatan di Pasar Wit-Witan, harapan sukses terbentang luas.
Betapa tidak, pasar yang dikonsep model “Tempoe Doeloe” ini, mendapat sambutan cukup luas. Baik dari masyarakat Singojuruh, dan sekitaran wilayah Banyuwangi, hinga luar Kota Banyuwangi.
Pasar Wit-Witan dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
Pemuda-pemudi dari 5 Dusun di Desa Alasmalang yang dinaungi BUMDES desa
Alasmalang, Kecamatan Singojuruh. Saat itu mendapat dukungan penuh dari
pemerintah Kecamatan, bahkan tamu-tamu resmi maupun kolega Camat Singojuruh,
diajak mengunjungi Pasar Wit-Witan.
Komentar langsung yang memuji keberadaan kami, membuat teman-teman bersemangat berkreasi dan meningkatkan dagangannya. Setiap hari minggu, pengunjung selalu penuh. Mereka sengaja mengunjungi Pasar Wit-Witan bersama keluarga, tidak sedikiti yang sedang olahraga dan reuni sekolah.
Saat itu, keberadaan Pasar Wit-Witan menjadi sorotan dan bahan bahasan di media sosial. Promosi dilakukan ke berbagai media lokal dan nasional, mulai cetak, radio, online hingga televisi secara berkesinambungan.
Sehingga, akivitas Pasar Wit-Witan yang konsepnya memang beda dengan pasar umum, menjadi dikenal luas. Promosi itu, belum ditambah dari para Bloger dan pengunjung melaui akun Medsonya.
Lapak Bu Sundari, omzetrnya tinggal 15 persen dibanding sebelum pendemi. (Foto: Mamet Ndut)
Bencana mulai kami rasakan, setelah ada Pandemi Covid-19.
Awalnya kami masih buka, pengunjungpun juga masih banyak, omzet juga masih
stabil. Namun pada minggu berikutnya, kami harus tutup total mengikuti himbauan
dari Satgas Covid-19 Kecamatan dan Kabupaten.
Diantara teman-teman yang sudah eksis dan mempunyai pelanggang tetap, mencoba melanjutkan usaha di rumah dengan berjualan online. Para pelanggannya, umumnya mengenal saat di Pasar Wit-Witan. Namun tidak berselang lama, kegiatan online di rumah masih jauh dari harapan dan berhenti.
Setelah libur total dan situasi agak
bersahabat, kami berusaha bangkit Kembali setelah Hari Raya Idul Fitri. Tentu penerapan Protokol Kesehatan menjadi antesi panitia,
dangan menyediakan tempat cuci tangan, memeriksa suhu badan, mewajibkan penjual
dan pengunjung mengunakan masker, serta mencegah gerombolan.
Dari total stand yang ada, hanya tersisi 30 persen. Saya yang biasa berjualan Rawon Alas, belum memulai aktivitas, karena masih ada kesibukan dan pekerjaan di luar. Namun terus datang menyemangati teman-teman, serta melihat perkembangan terakhir. Tentu promosi liwat player di akun medsos, Kembali kami geber seperti awal-awal Pasar Wit-witan.
Dari dua kali buka setelah lebaran, jumlah pengunjung
merosot tajam hingga 50 persen dibanding sebelum pandemi. Omset teman-teman
UMKM jatuh ke titik nadir, tetapi mereka berusaha bangkit dan berharap ada
perubahan. Tentu ikhtiar teman-teman, perlu mendapat dukungan penuh sebagaimana
awal-awal pasar Wit-Witan berdiri.
Lapak "Mbok Dartik" dari omzet Rp. i
juta sekarang tinggal di bawah Rp. 200 ribu. (Foto: Mamet Ndut)
Lapak "Bu Sundari", salah satu lapak yang berusaha bertahan walaupun hanya mampu 15 persen dibanding sebelumnya. Sebelum Pandemi, Bu Sundari ini salah satu lapak yang paling besar modal dagangannya. Barang dagangannya mulai dari Jenang Selo, Manisan Polo, berbagi jenang dan aneka kue jadul Banyuwangi.
Lapak "Mbok Dartik" yang jual jajanan pasar
seperti Cenil, Lanun, Lupis dan lain-lain. Sebelum pandemi mampu menghasilkan
pendapatan kotor hingga kurang lebih Rp.1 juta. “Namun akibat sepi pengunjung,
dapat Rp. 200 ribu saja sudah alhamdulillah banget, “ujar Mbok Dartik.
Begitu juga lapak "Martabak Telor", dulu sebelum
Pandemi mampu menghabiskan kurang lebih seribu butir telor. Sekarang hanya
mampu kurang lebih 50 butir telur saja. Namun tetap berjualan meski pendapatan
merosot, dengan harapan ada perubahan dan pengunjung kembali normal.
Kisah pilu penjual di Pasar Wit-witan merata, tidak ada
yang bertahan omzetnya dibanding sebelum pendemi. Namun mereka masih bertahan
berjualan, dengan harapan ada perubahan situasi. Langkah ini diambil, karena
hampir dua tahun menganggur di rumah dan tidak pemasukan.
(Penulis: Slamet Suwito/Mamet Ndut, penjual Rawon Alas di
Pasar Wit-Witan)