Kisah Peneliti Angklung Caruk, Sempat Ditakuti Isu Santet dan Teror Ninja (1)Angklung Caruk

Kisah Peneliti Angklung Caruk, Sempat Ditakuti Isu Santet dan Teror Ninja (1)

Karsono di Desa Alasmalang 9 April 2021 jelang bedah buku Angklung, Tabung-Musik Blambangan. (Foto: Dok/Pribadi)

KabarBanyuwangi.co.idKisah masa lalu Banyuwangi yang terkesan masih seram bagi orang luar, sempat meneror rencana peneliti seorang Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang ingin meneliti Angklung Caruk.

Berikut kami turunkan secara bersambung, pengalaman dari Karsono, M.Sn Dosen Pendidikan Seni, Prodi PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang. (Redaksi)

Saya lahir dan besar di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Tahun 1999 saya kuliah di program studi Etnomusikologi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, yang sekarang jadi ISI Surakarta, di Solo.

Baca Juga :

Di tahun 2002 dibuka program hibah mikro-riset seni tradisi untuk mahasiswa, skemanya adalah menempatkan mahasiswa tingkat akhir di lokasi penelitian selama satu bulan hingga dua bulan.

Kebetulan beberapa minggu sebelum dibuka program itu, dalam kuliah Budaya Musik Nusantara saya diperkenalkan dengan studi perbandingan musik antara Jegog Jembrana dan Angklung Caruk Banyuwangi.

Saya tertarik dengan kompetisi dalam seni Angklung Caruk, kemudian memberanikan diri mengajukan proposal mikro-riset untuk penelitian kecil di Banyuwangi.

Pada saat wawancara, dosen pembimbing menanyakan ulang kesungguhan niat riset ke Banyuwangi, karena wilayah tersebut baru saja mengalami tragedi sosial “Pembunuhan Dukun Santet” dan “Teror Ninja”.

Dengan mantap saya nyatakan siap ke Banyuwangi. Pertanyaan berikutnya dari dosen apakah sudah punya saudara atau kontak di Banyuwangi? Saya menjawab “tidak ada”.


Bermain angklung bersama Mas Mulyadi di Genteng 12 April 2021. (Foto: Dok/Pribadi)

Meski sempat meragukan kesesungguhan saya, akhirnya berusaha memfasilitasi saya dengan kontak ke Almarhum Bapak Sahuni. Kebetulan almarhum Pak Sahuni yang asli Singojuruh, studi lanjut di STSI Surakarta. Namun karena sulit diperoleh kontaknya, saya tetap berangkat ke Banyuwangi sendirian.

Sesampainya di Banyuwangi sekitar bulan Juni tahun 2002, pagi itu saya langsung menuju Dinas Pariwisata dan sowan ke Bapak Sahuni. Beliau pun menemui dengan ramah dan menanyakan maksud dan tujuan saya.

Setelah mengerti maksud dan tujuan saya, untuk tinggal satu hingga dua bulan di Banyuwangi melakukan riset kecil, Pak Sahuni membonceng saya dengan motor Suzuki RC Jet Cooled-nya menuju ke arah selatan dari kantor Dinas.

Waktu itu saya masih buta sama sekali dengan Banyuwangi, sangat sedikit pustaka yang membahas daerah ini beserta keseniannya waktu itu, akses pustaka pun masih terbatas. Bahkan awal dibonceng Pak Sahuni, saya mengalami disorientasi arah, tidak tahu ke arah mana saya saat itu dibawa.

Sampai akhirnya laju motor memasuki jalanan tanah berbatu dan berdebu, masuk dari arah Dusun Wonorekso ke Desa Krajan Alasmalang, Kecamatan Singojuruh (jalan di depan rumah budaya Kebo-keboan sekarang). (Bersambung)