Musim Tak Menentu, Adat yang Tak Goyah: Cerita Petani Rejopuro Banyuwangi Menjaga Alam

Musim Tak Menentu, Adat yang Tak Goyah: Cerita Petani Rejopuro Banyuwangi Menjaga Alam

Area persawahan masyarakat adat Osing Rejopuro, Desa Kampunganyar, Glagah, Banyuwangi yang berdampingan dengan pemukiman. (Foto: Dinda/JMA)

KabarBanyuwangi.co.id - Dari kejauhan, hamparan sawah di Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi terlihat seperti permadani hijau yang membentang di bawah kaki Gunung Ijen. Namun bagi petani seperti Sarino (64), warna hijau itu kini menyimpan segelintir kekhawatiran. “Musim sekarang susah ditebak. Dulu hujan bisa diprediksi tanggalnya. Sekarang kadang mundur, kadang datang mendadak. Kalau musim hujan datang, tanaman bisa ‘flu’ karena hujan bisa turun setiap hari,” ungkapnya.

Perubahan Pola Tanam dan Ancaman Hama

Dulu, dalam satu tahun, petani hanya bisa panen dua kali. Sekarang, berkat sistem irigasi dan pupuk modern, panen bisa tiga kali setahun. Tapi perubahan iklim sedikitnya membuat struktur tanah makin keras, hama makin ganas.

Baca Juga :

“Sekarang tikus itu kayak diundang kalau musim hujan,” ujar Sarino yang juga Ketua Masyarakat Adat Osing Rejopuro itu kepada KabarBanyuwangi.co.id, Minggu (12/10/2025).

“Banyak yang ngeracun tikus, tapi saya tidak. Orang tua saya dulu bilang, kalau sawah bersih dan doa kuat, tikus tidak berani. Alhamdulillah saya masih bisa panen,” imbuhnya.

Sarino menceritakan saat momen sebelum menanam hingga panen, para petani tak pernah luput dengan adat. “Kami selalu menggelar selamatan Sego Golong (nasi lauk sederhana yang dibungkus daun pisang) dengan harapan padi yang kami tanam ini bisa berbobot,” terangnya.

“Tentu selamatan ini juga untuk tolak bala, mungkin leluhur kami ini dulu pandai berbahasa Inggris juga meski kebanyakan orang dulu itu buta huruf. Maka dari itu dinamai Sego Golong, yang dimaksud ‘Go Long’, pergi jauh,” ungkap Sarino sambil senyum merekah.


Suasana pemukiman masyarakat adat Osing Rejopuro, Banyuwangi. (Foto: Firman)

Sementara itu, ia juga masih ingat betul saat pertama kali wabah penyakit kresek menyerang padi pada 1974.

“Daun padi kering merah, kayak terbakar. Itu pertama kali. Sekarang malah sering. Tikus makin banyak karena rantai makanannya rusak. Landak dan garangan dulu banyak, sekarang hampir tidak ada di ladang,” terang Sarino.

Suara BMKG Jelaskan Dinamika Musim dan Perubahan Iklim

Menurut Anjar Triono Hadi, Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Banyuwangi, saat ini wilayah Banyuwangi memang sedang berada dalam masa peralihan atau pancaroba, menuju awal musim hujan.

“Banyuwangi ini memiliki topografi yang unik, ada dataran tinggi di wilayah barat dan dataran rendah di wilayah timur. Itu yang membedakan kapan musim hujan di wilayah tersebut. Untuk wilayah barat seperti Glagah, di minggu ketiga Oktober sudah mulai masuk awal musim hujan. Bahkan di wilayah Licin, dan Songgon ini diprediksi musim hujan terjadi di sepanjang tahun 2025,” jelas Anjar, Rabu (15/10/2025).

Ia menjelaskan, BMKG menentukan awal musim hujan ketika curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) mencapai 50 milimeter atau lebih dan diikuti dasarian berikutnya dengan jumlah serupa. “Kalau di bawah 50 milimeter, maka belum bisa dikatakan musim hujan,” jelasnya.

“Musim itu dapat diprediksi dalam 30 tahunan, maka dari itu mungkin petani sudah terbiasa menebak musim dari tahun-tahun sebelumnya. Setahu saya petani Jawa masih memegang teguh Pranata Wangsa untuk mengatur jadwal bercocok tanam” imbuh pria asli Banyuwangi kelahiran 1977 itu.


Anjar Triono Hadi, Prakirawan BMKG Banyuwangi sampaikan prediksi musim yang dirilis Stasiun Klimatologi Jawa Timur. (Foto: Firman)

Anjar juga menyinggung soal perubahan iklim global yang mulai nyata dirasakan masyarakat. “Ciri dari perubahan iklim itu suhu udaranya meningkat. Mungkin sudah dirasakan masyarakat, kalau musim panas, panasnya begitu terik, sekali hujan bisa terus-menerus. Banyak juga kejadian bencana, itu sudah merupakan ciri-ciri perubahan iklim yang harus diwaspadai,” tegasnya.

Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, BMKG akan bekerja sama dengan dinas pertanian dan penyuluh untuk membantu petani menyesuaikan jenis tanaman berdasarkan prakiraan musim. “Petani juga perlu aktif berkolaborasi agar tidak salah kaprah, karena musim sekarang cepat berubah akibat dinamika atmosfer yang tidak stabil,” ujarnya.

Anjar berharap masyarakat bisa ikut menjaga lingkungan. “Kurangi penggunaan kendaraan bermotor, gunakan sepeda atau jalan kaki seperti dulu. Tanam pohon di sekitar rumah untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” pesannya.

Generasi Muda Menyiasati Cuaca

Di tengah ancaman itu, muncul generasi muda yang mencoba menyesuaikan diri dengan pasar. Cristian Arifianto (25), salah satu warga muda Rejopuro yang sehari-hari berprofesi sebagai guru SD ini memilih mengubah lahan sawahnya menjadi ladang cabai.

“Dua tahun lalu saya ganti jadi ladang. Sekali panen bisa lebih untung. Tapi risikonya besar. Kalau salah musim, rugi total,” katanya kepada Dinda Anggun Lestari, Jurnalis Masyarakat Adat (JMA) setempat.

“Kami petani harus bisa membaca pasar dan langit sekaligus. Sekarang cuaca itu bukan lagi urusan langit, tapi nasib ekonomi,” imbuhnya.

Cristian bercerita, kini banyak petani di Rejopuro menanam cabai, tomat, dan rante (sayuran lokal) sebagai alternatif padi. Tapi ia juga menekankan pentingnya tetap menjaga adat dalam setiap proses bertani.

“Selamatan tetap kami lakukan. Saat mulai menanam dan panen, kami buat Sego Golong. Itu bentuk syukur dan tolak bala,” urainya.

Petani Optimis di Tengah Musim Tak Menentu

Dwi Handoko (42), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Rejopuro sekaligus seorang petani menyebut, musim kemarau di daerahnya terasa lebih mundur, sedangkan musim bun upas (puncak musim kemarau) lebih pendek. Dari yang biasanya tiga bulan, kini hanya satu bulan.

“Kalau musim hujan tetap, biasanya bulan Desember mulai hujan sedang, baru di Januari curah hujan sangat tinggi, tapi nggak tahu lagi ke depannya,” ungkap pria yang akrab disapa Handoko ini memprediksi dengan berkaca pengalaman tahun lalu.

“Warga Rejopuro menyambut positif musim kemarau yang panjang ini, pertanian berkah, wisata alam tambah ramai,” imbuh Handoko saat ditemui di kolam pemandian Wisata Jopuro yang dikelolanya.


Dwi Handoko, pimpinan pengelola Wisata Jopuro yang ikut menjaga lestarinya sumber mata air Kajar. (Foto: Firman)

Ia mengatakan, bulan Oktober ini panenan warga sekitar sangat bagus hingga Januari nanti. “Ya Alhamdulillahnya di sini tak pernah kebinggungan air irigasi sawah, karena sumber mata air melimpah. Ada tujuh sumber yang mengairi sekitar,” kata Handoko.

Pola Hidup dan Ketahanan Pangan Lokal

Dari hasil observasi Dinda, kehidupan warga Rejopuro masih sangat dekat dengan alam. Hampir setiap rumah memiliki tanaman kelor, turi merah, jahe, kunyit, serai, hingga sirsak di pekarangan. Tanaman itu menjadi bahan pangan dan obat tradisional yang diwariskan turun-temurun.

“Ibu-ibu masih memasak di tungku kayu bakar. Kayunya diambil dari kebun sendiri. Tidak ada yang membakar lahan. Kalau panen, hasil bumi langsung dijual di warung kecil di depan rumah atau ke pasar Glagah,” tulis Dinda, pada (21/7/2025) lalu.


Tanaman turi merah di depan rumah Sarino, Ketua Adat Osing Rejopuro. (Foto: Dinda/JMA)

Selain padi dan cabai, beberapa warga juga menanam talas, bentul, dan umbi-umbian di ladang. Ketahanan pangan menjadi prinsip utama mereka apa yang tumbuh, itulah yang dimakan.

Namun, ada kekhawatiran lain yang tumbuh di kalangan petani muda, pendidikan anak-anak yang rata-rata berhenti di SMP karena faktor ekonomi. “Banyak anak milih kerja di sawah daripada lanjut sekolah,” kata Cristian.

Refleksi: Kearifan Sebagai Adaptasi

Masyarakat Rejopuro tidak hanya menghadapi perubahan iklim, tetapi juga modernisasi yang cepat. Meski begitu, mereka juga masih menjaga ritus adat Ithuk-Ithukan, Ancak-ancakan, dan Mocoan Lontar Yusuf, tradisi lisan yang memuliakan leluhur, bumi dan air.

Di tengah dunia yang berubah, mereka memilih tetap setia pada prinsip lama, yakni guyub rukun, sederhana, dan tidak meninggalkan adat.

“Kami percaya sumber air dan tanah tidak akan hilang kalau dijaga. Tapi kalau serakah, ya hilang semua. Tapi Insyaallah semua warga di sini sadar akan itu,” ujar Sarino yang jago melontarkan wangsalan berbahasa Osing itu.

Rejopuro adalah potret kecil bagaimana masyarakat adat di Banyuwangi melawan perubahan iklim bukan dengan teknologi mahal, melainkan dengan kesadaran kolektif menjaga alam berarti menjaga masa depan. (man)