Sumber mata air Kajar, nadi kehidupan masyarakat adat Osing Rejopuro, Desa Kampunganyar, Glagah, Banyuwangi. (Foto: Firman)
KabarBanyuwangi.co.id - Suasana Minggu sore (12/10/2025) terasa
lembap dan sejuk. Di bawah rimbunnya pepohonan berusia ratusan tahun, suara
gemericik air terdengar mengalir lembut dari celah bebatuan.
Sumber mata air Mengarang alias Sumber Kajar, begitu
masyarakat adat Osing Rejopuro menyebutnya. Air yang keluar dari perut bumi di
kaki Gunung Ijen itu telah menjadi nadi kehidupan, sekaligus menjaga harmoni
adat, dan alam.
Setiap tahun, pada tanggal 12 Dzulqa’dah, warga Dusun
Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur menggelar
ritual “ithuk-ithukan”, sebuah tasyakuran sederhana untuk menolak bala dan
memohon kesuburan bumi.
Hidangan nasi ithuk dengan wadah daun pisang ini disajikan
lengkap bersama lauk pecel pitik, yaitu suwiran ayam kampung panggang ditaburi parutan
kelapa berbumbu yang khas. Tradisi ini dipercaya berasal dari Mbah Wukuh,
leluhur yang membuka tanah Rejopuro dari hutan angker menjadi pemukiman damai.
“Dulu yang membabat kampung di sini namanya Buyut Cian, yang
dikenal dengan nama Mbah Wukuh. Dari cerita cucunya, beliau bisa datang dan
pergi ke tujuan dengan sekejap,” tutur Sarino (64), Ketua Adat Osing Rejopuro,
dengan bahasa Osing yang kental.
“Saat berguru ke daerah Selatan, beliau mendapat wangsit menanam
timun wukuh untuk menetralisir. Dari situlah nama Mbah Wukuh dikenal. Rejopuro
ini ‘rejo’ karena ‘sepuro’. Artinya, kampung ini ramai dan damai karena beliau
selalu berdoa untuk meminta dimaafkan saat mendirikan kampung,” imbuhnya.
Sumber Air Sebagai Sumbu Kehidupan
Bagi warga Rejopuro, air bukan sekadar kebutuhan, tetapi
bagian dari identitas spiritual. Sumber Kajar adalah pusat dari segalanya,
untuk kebutuhan air bersih rumah tangga, air minum, irigasi sawah, hingga
menghidupi kolam ikan koi dan selada air yang menjadi mata pencaharian tambahan
warga.
“Setiap rumah di
sini air bersih rumah tangganya disalurkan dari sumber Kajar, cuma bayar tiga
ribu rupiah per bulan,” kata Sarino.
“Alhamdulillah, dari
dulu kami nggak ada yang menebang pohon besar di sekitar sumber. Seluruh warga
dan pemilik lahan merasa memiliki bersama untuk saling menjaganya,” tambahnya.
Masyarakat Adat Osing Rejopuro saat menggelar tradisi
Ithuk-ithukan dengan berbondong-bodong menuju sumber Kajar, pada Sabtu (10/5/2025)
lalu. (Foto: Dok/Istimewa)
Ritual tasyakuran di sumber air kini juga menjadi agenda
yang didukung pemerintah setempat, bahkan masuk dalam kalender event Banyuwangi
Festival. Dinas terkait pun ikut andil untuk menanam pohon di sekitar area
sumber. Kolaborasi adat dan pemerintah ini menjadi salah satu contoh ekowisata
berbasis masyarakat adat yang masih hidup di Banyuwangi.
"Ini adalah ungkapan syukur kami atas limpahan sumber
mata air. Tentu saja, ini adalah berkah yang memberikan manfaat besar bagi
seluruh masyarakat di sekitar sini," tutur Sarino.
Selain tradisi ithuk-ithukan, warga juga melaksanakan ragam
ritual adat yang masih dilestarikan dengan guyub rukun. Diantaranya slametan sego
golong, dan ancak-ancakan yang selalu hadir di tengah momen penting masyarakat.
Sarino tunjukkan ancak setengah jadi saat ditemui di
kediamannya menceritakan soal kearifan lokal masyarakat adat Osing Rejopuro. (Foto: Firman)
Ketika Air dan Wisata Bertemu
Tak jauh dari sumber utama, aliran air membentuk kolam pemandian
alami yang disebut warga sebagai Wisata Jopuro atau Pemandian Seladahan. Di
sinilah warga mengelola wisata berbasis air, lengkap dengan wahana flying fox,
arung jeram mini, dan kolam pemancingan. Semuanya dikelola bergantian setiap
tiga tahun oleh warga.
Tak tanggung-tanggung, wisata alam buatan yang dibanderol
dengan tiket Rp10.000 per orang dewasa ini rata-rata dikunjungi ratusan
wisatawan di setiap harinya, bahkan bisa menarik hingga
ribuan wisatawan di hari libur.
Namun, perubahan iklim membawa tantangan baru bagi
pengelolaan wisata. Dwi Handoko (42), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
Rejopuro, menyebutkan perubahan pola musim sangat mempengaruhi jumlah
kunjungan.
“Sekarang musim kemarau lebih mundur, tapi musim hujannya
pendek. Biasanya tiga bulan, sekarang paling sebulan. Kalau hujan deras, air
jadi keruh, wisatawan turun, kami harus kuras kolam lebih sering,” ujar Handoko
yang juga seorang petani dan peternak domba ini.
Suasana riang di Wisata Jopuro, Banyuwangi pada
Minggu (12/10/2025). (Foto: Firman)
“Tapi masyarakat di sini yang mayoritas petani dapat
positifnya, panenan saat ini lebih melimpah dan bagus berkat terik matahari
yang menyinari tanaman, dan air irigasi di sini tak jadi hambatan,” imbuhnya.
“Kalau musim panas, wisata juga jadi ramai. Tapi kami tak perlu khawatir airnya kering. Syukurlah sampai sekarang sumber masih besar, namun volume-nya sedikit berkurang saja kalau sedang kemarau. Yang bikin geram itu kalau ada pengunjung mandi pakai sabun di sumber atas, padahal sudah disediakan kamar bilas di bawah,” terang Handoko lagi.
Meski begitu, lingkungan sekitar wisata ini ekosistemnya
masih terjaga dengan asri, habitat capung, selada air, dan ikan endemik sungai
air jernih seperti ikan wader, tawes hingga masher atau dikenal dengan ikan
dewa masih lestari membuktikan baiknya kualitas air di Wisata Jopuro.
Ladang selada air yang dibudidayakan warga
setempat di sekitar Wisata Jopuro. (Foto: Firman)
Ia juga menyinggung konflik internal antar kelompok
pengelola yang sempat terjadi dalam beberapa bulan terakhir. “Kami terus cari
jalan tengah, tapi harapannya pemerintah desa bisa ikut bantu menengahi. Wisata
ini milik bersama, jangan sampai retak gara-gara mau menang sendiri,” jelas Handoko.
“Meski dengan terbatasnya SDM yang ada, kami
optimis untuk bisa memajukan wisata ini ke taraf nasional hingga internasional.
Ke depan kami berencana untuk menyediakan fasilitas edukasi
seputar budaya warga Rejopuro, hingga penanaman selada air yang selalu kita
lestarikan di sini,” tutupnya.
Masyarakat, Air, dan Kearifan
Dari catatan lapangan Dinda Anggun Lestari, Jurnalis
Masyarakat Adat (JMA) setempat yang diterima KabarBanyuwangi.co.id, suasana
Rejopuro bak perkampungan hijau yang menolak punah. Di sepanjang jalan, kebun
pepaya, ladang cabai, dan pohon-pohon buah tumbuh subur.
Beberapa rumah warga memiliki kolam ikan koi di depan
rumahnya. Di tepi sungai, perempuan masih mencuci dengan menutup tubuh mereka
menggunakan kain batik panjang, menjaga adab sekaligus tradisi.
“Masyarakat Rejopuro
hidup berdampingan dengan alam. Mereka tidak memandang alam sebagai milik, tapi
sebagai saudara. Mereka terbuka pada wisata dan pembangunan, tapi tetap menjaga
tata adat. Pemuda bekerja di wisata, ibu-ibu berjualan selada air, dan para
tetua menjaga ritual sumber,” tulis Dinda yang juga salah satu penulis buku bertajuk Ngerumat
Sumber ini.
Refleksi di Tengah Krisis Iklim
Di tengah perubahan iklim global yang makin terasa, kemarau panjang, curah hujan ekstrem, hingga
degradasi air tanah masyarakat Rejopuro menjadi contoh nyata bahwa pengetahuan
adat adalah benteng pertama adaptasi iklim.
“Kalau air dan adat dijaga,
alam juga jaga kita,” ucap Sarino lirih.
Sumber Kajar bukan sekadar air. Ia adalah cermin tentang
bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan bumi tanpa kehilangan jati
diri. (man)