Kelompook Angklung Ki Ageng Joyokaryo yang terdiri dari anak-anak muda. (Foto: Istimewa)
KabarBanyuwangi.co.id – Bagi anak-anak generasi kedua Kelompok Angklung Ki Ageng Joyokaryo, Sawahan, Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi, nama Desa Alasamalang dan Pasinan, Kecamatan Singojuruh, merupakan ‘Kandang Macan’ panjak tradisional angklung caruk yang handal.
Mereka mendengar nama itu, dari para pendahulunya yang juga kerap pentas satu panggung dengan kelompok angklung dari kawasan Singojuruh.
“Kami sangat tahu bahwa Alsmalang tempatnya seniman
angklung caruk, bahkan kami banyak belajar giro-giro dari Alasmalang,” ujar Nuno
Sutejo, saat ditemui KabarBanyuwangi usai tampil di Rumah Keboan Alasmalang
beberapa waktu lalu.
“Setelah mendapat tawaran main di Alasmalang, di depan para
narasumber dan pakar-pakar kesenian, jujur kami sempat ragu dan merasa belum
mampu untuk tampil di sana. Namun atas bimbingan saudara Adlin Mustika dari Pasinan dan Pak Elvin
Hendratha, kami akhirnya siap,” imbuh Nuno Sutejo.
Angklung Ki Ageng Joyokaryo, merupakan Group Angklung Caruk
lama asal Sawahan, Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi yang didirikan almarhum Sutedjo Hadi dan almarhum
Bacar, Lurah Pengantigan saat itu.
Namanya cukup dikenal di kalangan seniman Angklung dan
panjak tradisional, apalagi setelah Sutedjo Hadi dipercaya oleh Pemkab
Banyuwangi sebagi curator seniman-seniman tradisonal yang mendukung Kesenian
Angklung Daerah Banyuwangi.
Keterangan Gambar : Penulis
naskah film nasional, Ifan Adriansyah Ismail tengah memberi sambutan. (Foto:
Dok. Arftevac)
Namun mereka yang tampil di Alasmalang saat Lauching Buku
"Angklung, Tabung Musik Blambangan" karya Elvin Hendratha, Sabtu 10
April 2021 lalu, adalah anak-anak muda yang menunjukkan skill kemampuannya,
sebagai penerus kelompok Angklung legendaris di Banyuwangi.
“Setelah dipompa semangatnya oleh Pak Elvin sebagai
pembina, juga terus diberi motivasi bahwa seniman itu tidak ada yang hebat jika
tidak mau belajar, maka saya dan teman-teman menjadi berani tampil. Prinsip
kami, lebih baik mencoba daripada hilang kesempatan yang langka ini,” ujar Nuno.
Nuno menambahkan, meski awalnya kurang percaya diri, tetapi
saat hari pelaksanaan justru antusias dan semangat.
“Anak-Anak Ki Ageng Joyokaryo ingin menunjukkan penampilan terbaik, tetapi saya
pribadi yang ragu akan duduk di Ancak angklung,” tambah Nuno.
Keraguan Nuno tersebut muncul, setelah mendengar Laras
Alasmalang yang sempat terkecoh dengan BEM, sehingga terbawa dengan frekuensi laras
mereka. Saat membawakan Giro Alasmalang, justru pertengahan Selenthem yang
dipegang Farham berubah menjadi Giro Suroboan.
“Kita terbawa ritmik dan dinamika mereka secara otomatis.
Kami merasa banyak kekurangan, terutama di engselan. Kami sangat terkesan
dengan permainan kedua grup dan dapat menjadikan motifasi, untuk kita belajar
lebih giat dan bahkan mereka siap untuk dilibatkan belajar bareng secara anjang
sana bergantian Pasinan, Alasmalang dan Sawahan,” harap putra almarhum Sutedjo
Hadi ini.
Keterangan Gambar : Nuno
Sutejo bersama anak-anak Ki Ageng Joyokaryo. (Foto: Istimewa)
Tidak bisa dipungkiri lagi, nama Sawahan dan Setedjo Hadi
memang diperhitungkan oleh seniman angklung di Alasmalang dan Pasinan. Terbukti
saat mereka tampil, Kang Sarpin sebagai MC mengingat kelompok Angklung Sekar
Tanjung Alasmalang diminta tampil maksimal, karena dilihat orang Sawahan. Hal
yang sama juga disampaikan Badut senior, Kang Awik.
“Saya pribadi tau bagaimana mareka menghormati bapak dimasa
hidupnya dulu tetapi anak-anak belum banyak yang tahu. Setelah tau saya anak
dari bapak (Sutedjo Hadi –Red) mereka
semua manganggap saya seperti saudara, terutama Pak Tohan yang sempat saya
minta foto bersama anak-anak buat kenang kenangan. Harapan mereka, saya bisa
meneruskan langkah bapak,” pungkas Nuno. (sen) Bersambung