Saat Turis Asal Chili Uji Ketangkasan di Tradisi Pencak Sumping Banyuwangi

Saat Turis Asal Chili Uji Ketangkasan di Tradisi Pencak Sumping Banyuwangi

Turis asal Chili turut ramaikan gelaran tradisi Pencak Sumping di Dusun Mondoluko, Tamansuruh, Glagah, Banyuwangi. (Foto: Istimewa)

KabarBanyuwangi.co.id – Tradisi unik warisan leluhur kembali menghidupkan suasana Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi saat perayaan Idul Adha 1446 Hijriah, Jumat (6/6/2025).

Ratusan warga dan wisatawan tumpah ruah menyaksikan pertunjukan Pencak Sumping, seni bela diri khas Banyuwangi yang menyatukan kekuatan fisik, budaya, dan kuliner lokal.

Menariknya, tahun ini ada tamu istimewa dari benua Amerika Selatan. Sebastian, wisatawan mancanegara asal Chili, mencuri perhatian saat ikut turun ke arena, menguji kelincahan dan keberaniannya di tengah gemuruh sorak penonton.

Baca Juga :

“Ini pengalaman luar biasa. Saya sangat terkesan dengan semangat dan keramahan masyarakat di sini. Bisa ikut serta dalam tradisi ini membuat saya merasa menjadi bagian dari keluarga besar Banyuwangi,” ungkap Sebastian.

Penampilannya langsung disambut tepuk tangan meriah. Meski baru pertama kali mengenal tradisi ini, Sebastian tampak luwes bergerak dan menghormati setiap gerakan yang ditunjukkan para pendekar lokal.

Pencak Sumping bukan sekadar pertunjukan bela diri. Tradisi ini punya filosofi kuat sebagai simbol keberanian, kebersamaan, dan penghormatan kepada leluhur.

Tak heran jika seluruh warga Dusun Mondoluko kompak menyambut dan mempersiapkan perhelatan tahunan ini. Mulai dari latihan para pendekar lintas generasi, dekorasi arena, hingga penyajian kuliner khas, semua dilakukan secara gotong royong.

Uniknya, nama Pencak Sumping terinspirasi dari “sumping”, kue tradisional berbahan dasar pisang dan adonan tepung yang dikukus.

Kudapan ini bukan hanya camilan biasa, tapi menjadi bagian dari simbol tradisi. Dalam setiap pertarungan, pendekar yang menang biasanya akan menyumpal mulut lawan dengan kue sumping sebagai bentuk penghormatan dan simbol sportivitas.

“Ini bukan sekadar bertanding, tapi juga menumbuhkan rasa persaudaraan. Bahkan, kue sumping itu bisa jadi simbol kekeluargaan yang dibungkus canda,” jelas Rahayis, tokoh pelestari budaya Pencak Sumping.

"Biasanya pendekar yang menang akan menyumpal mulut lawan yang kalah dengan kue sumping," imbuhnya.


Kue sumping yang menjadi suguhan para pendekar jadi sorotan utama. (Foto: Istimewa)

Tak banyak yang tahu, nama “Mondoluko” punya latar kisah historis. Konon, sebutan itu berasal dari kisah Buyut Ido, seorang pejuang lokal yang terluka parah saat melawan penjajah Belanda.

Dalam bahasa Using, “mondol-mondol” berarti robek dan “luko” berarti luka. Dari kisah inilah semangat juang dan keberanian warga diwariskan melalui Pencak Sumping.

Kini, selain sebagai warisan budaya, tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata yang mulai dikenal khalayak luas.

Dukungan dari pemerintah daerah, komunitas budaya, hingga pelaku pariwisata terus mengalir untuk melestarikan seni bela diri khas ini agar tetap hidup di tengah zaman. (anj/man)