Kang Elvin Hendratha memberikan sambutan dalam Peluncuran buku Angklung, Tabung Musik Blambangan di Rumah Adat Kebo-keboan, Alasmalang, Singojuruh, Banyuwangi, 10 April 2021. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan)
KabarBanyuwangi.co.id - Warung Jukung (arah Desa Kemiren), rumah Kang Juwono (Lemahbang), warung bothok (sebelah timur Bulog Lemahbang), dan Pasar Wit-witan Singojuruh menjadi saksi pertemuan simultan saya dengan Elvin Hendratha, pada 2019. Dalam setiap pertemuan yang berlangsung dalam suasana cair, penuh canda itu, kami tidak lupa membincang pentingnya menulis kekayaan seni Banyuwangi, khususnya oleh para penulis kelahiran bumi Blambangan.
Bukan bermaksud mengabaikan penulis dan peneliti dari luar yang telah banyak berkontribusi dalam mendiskusikan perkembangan dan permasalahan budaya Banyuwangi, khususnya Using, karya penulis Banyuwangi diharapkan bisa memperkaya kajian serta menjadi catatan penting gerak keberaksaraan dalam masyarakat yang masih didominasi tradisi lisan.
Tentu, dari Banyuwangi kita sudah mengenal beberapa penulis
hebat seperti Hasan Ali, Hasnan Singodimayan, Armaya, Achmad Aksoro, Endro
Wilis, Hasan Basri, Hasan Sentot, Fatha Yasin, Dwi Pranoto, Taufik WR Hidayat,
Rosdi Bachtiar, Wiwin Indiarti, dan yang lain. Maka, kehadiran Elvin, seorang
bankir lulusan Universitas Jember, tentu akan memberikan warna baru bagi proses
keberaksaraan tersebut.
Apa yang saya rekam dari setiap perbincangan kami adalah
sebuah keinginan besar Elvin untuk menulis tentang angklung Banyuwangi secara
mendetil, dari aspek bentuk, notasi, hingga perkembangan historisnya. Maka,
tidak ada ucapan lain selain “siap mendukung” terhadap keinginan tersebut.
Meskipun bukan etnomusikolog, setidaknya, dukungan tersebut adalah ikhtiar
kecil untuk menyalakan api semangatnya.
Saya sering mengatakan, tidak usah bingung dengan gaya penulisan; mau model bertutur, mendongeng, deksriptif, eksploratif, atau apalah. Apa yang terpenting adalah dicatat semua informasi penting dari para tokoh angklung Banyuwangi serta rujukan-rujukan tertulis yang bisa didapat.
Keterangan Gambar : Kang Hasan Sentot, pengurus Sengker Kuwung Belambangan (SKB) memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku Angklung. (Foto: Dok. Ikwan Setiawan)
Mengumpulkan data-data itu tentu bukan pekerjaan mudah,
apalagi angklung berangkat dari tradisi lisan dan data-data lama kebanyakan
berbahasa Belanda. Tidak bingung dengan gaya tulisan adalah salah satu cara
bijak agar tidak terlalu terbebani, agar semangat menulis terus mengalir.
Kalau ada sesuatu yang benar-benar saya sesali adalah saya
tidak bisa menepati janji untuk ikut membaca dan menyunting draft tulisan yang
disiapkan Elvin. Sempat membaca draft awal, lalu laptop saya rusak dan tidak
bisa dipakai lagi. Maka, kerja-kerja akademis yang biasanya bersifat mobile
harus terganggu.
Namun, saya meyakini kalau ia akan menemukan partner lain
yang bisa membantunya untuk urusan penyuntingan. Dan, itu terbukti dengan terbitnya Angklung,
Tabung Musik Blambangan (2021). Sudah sepatutnya saya ikut bergembira dan
merayakan kehadiran bacaan yang akan memperkaya rujukan bagi kajian
ke-Banyuwangi-an ataupun ke-Using-an sekaligus menciptakan “ritme lain” dalam
gerak budaya: sebuah tradisi tulis di tengah-tengah gemuruh dan meriah pesta di
ujung timur Jawa ini. (Bersambung)
(Penulis : Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik
identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)