Pengrajin mayang sari legendaris Banyuwangi, Bunda Elis jadi pemateri utama workshop. (Foto: Istimewa)
KabarBanyuwangi.co.id – Di tengah gempuran tren dekorasi modern dalam pesta pernikahan, seni tradisional Mayang Sari perlahan mulai terpinggirkan. Meski demikian, semangat untuk melestarikan warisan budaya ini tak pernah padam.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi kini mengambil langkah digital untuk memperkenalkan kembali keindahan dekorasi pelaminan khas Jawa tersebut ke generasi muda.
Lewat workshop yang digelar secara live di media sosial
(medsos) TikTok dan Instagram @banyuwangi_tourism pada Senin (16/6/2025),
Disbudpar mengajak masyarakat menyaksikan langsung proses pembuatan mayang
sari.
Workshop tersebut menampilkan langsung salah satu
pengrajin dekor mayang sari legendaris Banyuwangi, Elis Nurwahyuni (60), yang
akrab disapa Bunda Elis.
“Melalui workshop live streaming ini, kami ingin membuka
akses kepada masyarakat luas untuk belajar seni ini langsung dari pelakunya,”
ujar Dwi Susanti, Analis Kebijakan Ahli Muda Bidang Ekonomi Kreatif Disbudpar
Banyuwangi.
Bunda Elis bukan nama baru di dunia seni janur
Banyuwangi. Selama lebih dari 45 tahun, ia telah merangkai ribuan dekorasi
pengantin khas Jawa dengan penuh dedikasi. Namun kini, pesanan Mayang Sari
makin jarang datang.
“Dulu, Mayang Sari jadi primadona di setiap pelaminan adat
Jawa. Sekarang sudah jarang, paling hanya untuk konsep gebyok Jawa yang
benar-benar tradisional,” ungkap Bunda Elis.
Menurutnya, tren masyarakat yang lebih menyukai dekorasi
modern turut berperan dalam penurunan minat terhadap Mayang Sari. Berbeda dengan
Kembar Mayang atau Penjor yang masih sering digunakan untuk hajatan atau
syukuran, Mayang Sari kini hanya muncul dalam momen-momen tertentu.
“Kalau Kembar Mayang atau Penjor, pembuatannya lebih
cepat dan penggunaannya lebih luas. Satu set Mayang Sari bisa memakan waktu
satu jam, sementara Penjor bisa selesai empat buah dalam satu jam,” jelasnya.
Melihat kondisi ini, Disbudpar mencoba mendekatkan
kembali seni tradisional ke masyarakat, terutama generasi muda, melalui
platform digital. Workshop live ini diikuti ratusan penonton dan mendapat
respons positif.
“Alhamdulillah, masih ada perajin seperti Bunda Elis yang
terus melestarikan tradisi ini. Kami berharap upaya ini bisa menjadi jembatan
antara seni tradisional dengan era digital,” kata Santi.
Ia menambahkan, media sosial menjadi sarana efektif untuk
memperluas jangkauan edukasi budaya. “Dengan cara ini, generasi muda bisa
mengenal dan mungkin tertarik mempelajari seni-seni seperti Mayang Sari yang
sarat makna,” tutup Santi. (anj/man)