Ketika Pohon Gempol Mulai Langka: Jejak Perubahan Iklim di Komunitas Adat Osing Andong

Ketika Pohon Gempol Mulai Langka: Jejak Perubahan Iklim di Komunitas Adat Osing Andong

Sumantri, Ketua Adat Osing Andong saat ditemui di kediamannya. (Foto: Firman)

KabarBanyuwangi.co.id - Ritual Tumpeng Songo yang diwariskan turun-temurun kini menjadi simbol perlawanan terhadap perubahan iklim yang perlahan mengubah wajah alam dan kehidupan masyarakat adat Osing Andong.

Kabut tipis menyelimuti jalan cor semen abu-abu menuju Komunitas Adat Osing Andong, salah satu wilayah adat di Dusun Andong, Desa Tamasuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Di kanan kiri jalan, sawah dan kebun membentang. Pohon kelapa, pisang, durian, dan manggis tumbuh berselang-seling, memberi kesan sejuk yang menenangkan.

Di kejauhan, suara ayam berkokok bersahutan dengan gemericik sungai Watu-Watu yang membatasi wilayah adat. Dua sungai lain, yakni Sobo dan Andong Tengah turut mengaliri kampung, menjadi sumber kehidupan bagi sekitar 1.200 jiwa warga Osing Andong.

Baca Juga :

 “Air di sini masih cukup, tapi kadang giliran irigasi kami molor kalau kemarau panjang,” tutur Jumhar (82), tetua adat yang rumahnya berdiri di gang sempit di belakang rumah anaknya.

Dari catatan Dinda Anggun Lestari, Jurnalis Masyaraka Adat (JMA) setempat, menyebut Jumhar saat ditemui di depan rumahnya, terdapat dua buah labu oranye pucat hasil kebun tergeletak di atas meja kayu, sementara di bawahnya tergantung clurit dan sepatu boot untuk ke sawah.

Tumpeng Songo: Doa untuk Alam yang Kian Tak Pasti

Setiap tahun, tepat di bulan Dzulqaidah setelah Idulfitri, warga Andong menggelar ritual Selametan Kampung Tumpeng Songo. Tradisi ini menjadi momentum besar bagi seluruh warga untuk bersyukur dan memohon keselamatan bagi bumi dan penghuninya.

Dalam ritual ini, disiapkan ancak songo, sembilan wadah berisi tumpeng, lauk-pauk, dan jajanan tradisional. Lauk utamanya seekor sapi berukuran 70 hingga 100 kilogram, yang daging dan seluruh bagiannya harus diolah dan dimakan bersama.

“Yang wajib ada itu lauk dari pohon Gempol,” ujar Sumantri (63)*, Ketua Adat Osing Andong, yang merupakan tabib tradisional dan petani setempat saat dikonfirmasi KabarBanyuwangi.co.id, Rabu (15/10/2025).

“Sekarang sudah sulit ditemukan. Padahal dulu pohon ini banyak tumbuh liar di sekitar kampung. Rasanya pahit, tapi itulah simbol bumi, isi bumi yang harus kita syukuri,” imbuhnya.

Setelah selamatan, warga melakukan ider bumi: berkeliling kampung dan berziarah ke makam leluhur Buyut Menut, pendiri kampung Andong. Di sana mereka membaca doa, mengaji, dan mengucap syukur bersama. 

Sumantri masih ingat betul pesan leluhurnya. “Pernah waktu saya kecil, selametan tidak digelar karena alasan tertentu. Tak lama, kampung kami kena bencana dan banyak masalah sosial. Sejak itu, selamatan tak pernah absen, dan saya sebagai generasi penerus harus terus melestarikannya,” ujarnya.

Konon, kampung ini dinamai Andong, lantaran tanaman "Andong" (Cordyline fruticosa) tumbuh liar sejak awal didirikan. Hingga kini warga setempat masih menanam tanaman dengan daun berwarna merah ini di pekarangan rumah, dan tumbuh liar di pinggir jalan.

Dari Ladang ke Sungai: Potret Alam yang Mulai Berubah

Observasi lapangan dari Dinda JMA menunjukkan Andong masih dikelilingi bentang alam subur. Namun di balik hijaunya pepohonan, ada perubahan yang pelan tapi nyata. Sebagian sawah kini dialihfungsikan menjadi ladang cabai dan jagung.

“Sekarang orang lebih memilih tanam yang cepat panen. Kebun buah masih ada, tapi tidak sebanyak dulu,” ujar Dinda, aktifis Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN) Osing Banyuwangi yang juga warga Dusun Andong in.

Saat menyusuri wilayah timur Andong, pemandangan berubah-ubah. Di sepanjang pematang sawah, tumbuh pakis, kangkung, dan semanggi. Di bawah pohon bendo, mengalir sumber air kecil yang tertutup semak. Sungai Watu-Watu yang jernih kini menjadi batas alami antara lahan dan pemukiman.


Dinda JMA saat melakukan observasi dengan dibantu warga seempat. (Foto: Istimewa)

Namun, musim kini tidak lagi bisa ditebak. Hujan turun di bulan yang tak semestinya, dan kemarau datang lebih cepat. Akibatnya, pengairan sawah tak selalu stabil. “Irigasi sekarang pakai giliran, kadang airnya telat. Kalau lama kering, padi bisa gagal panen,” tutur Jumhar.

Hasil Panen Menurun, Tanah Semakin Cepat Kering

Perubahan iklim terasa langsung di lahan-lahan pertanian Andong. “Dulu hasil padi bisa banyak, sekarang makin berkurang,” kata Jumhar.

“Kami menanam apa yang dibutuhkan saja. Kadang jagung, kadang labu. Yang penting cukup makan,” tambahnya.

Saptani (59), warga yang mengurus rumah tangga dan ladang kecil, menuturkan hal serupa. “Dulu, habis panen padi didiamkan tiga bulan sebelum dibajak lagi. Sekarang cuma seminggu sudah dibajak lagi. Tanahnya tidak sempat istirahat,” tegasnya.

Serangan hama juga meningkat. Tikus dan serangga kini tidak hanya menyerang padi, tapi juga tanaman labu dan jagung. “Kalau dulu jarang, sekarang hampir tiap musim ada hama,” katanya.

Kendati demikian, sebagian besar warga masih mengandalkan hasil kebun sebagai bahan pangan harian. Sayur-mayur seperti genjer, pakis, daun singkong, dan kecombrang masih mudah ditemukan. Namun beberapa bahan tradisional mulai sulit dicari, termasuk daun ranti, kemendelan, dan tentu saja pohon Gempol, bahan penting dalam selamatan Tumpeng Songo.

Air, Energi, dan Dapur Tradisional

Di rumah-rumah warga, dua bentuk dapur masih hidup berdampingan. Kompor gas dan tungku kayu bakar sama-sama digunakan. “Kalau gas habis, tinggal pakai kayu,” ujar Saptani.

Air bersih diperoleh dari pipa bersama yang dikelola warga, dengan iuran Rp5.000 per bulan. Sebelumnya, mereka menggunakan sumur, tetapi kini banyak yang beralih karena air tanah semakin dalam.

“Air masih mengalir, tapi kalau musim kemarau panjang, tekanannya kecil,” jelas Saptani. “Tapi kami bersyukur, masih lebih baik daripada kampung lain yang sering kering,” katanya lagi.

Listrik sudah masuk ke seluruh rumah, meski masih sering mati 1–2 kali sebulan. Meski begitu, bagi masyarakat Andong, energi utama tetap dari alam: kayu, air, dan hasil bumi yang mereka kelola sendiri.


Botol plastik bekas dimanfaatkan warga sebagai salah satu identitas Dusun Andong. (Foto: Firman)

Konflik Sosial dan Ketimpangan Baru

Perubahan iklim tidak hanya mengguncang alam, tapi juga dinamika sosial. Di balik harmoni kampung, muncul gesekan kecil antara tokoh adat dan tokoh agama dalam pelaksanaan ritual. “Kadang soal waktu atau cara ritual, tapi biasanya bisa diselesaikan dengan musyawarah,” ujar Jumhar.

Ada pula konflik antarwarga dan dengan desa lain terkait pembagian air irigasi. Beberapa warga mengeluhkan laporan pajak yang tidak transparan.

Meski begitu, masyarakat Osing Andong tetap menjaga nilai gotong royong. Mereka percaya, kekuatan kampung ada pada kebersamaan dan adat yang diwariskan leluhur.

Adat sebagai Ketahanan Ekologis

Bagi warga Andong, adat bukan sekadar warisan, melainkan sistem pertahanan hidup. Melalui ritual, mereka menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.

“Kalau alam rusak, adat juga ikut rusak,” ucap Sumantri. “Selametan itu bukan hanya doa, tapi cara kami menjaga bumi agar tetap memberi kehidupan.”

Tradisi seperti Tumpeng Songo menjadi ruang belajar ekologis: bagaimana berbagi hasil bumi, mengatur air, dan menghormati tanah. Ketika musim tak lagi bisa diprediksi, nilai-nilai ini menjadi pegangan penting untuk bertahan.

Pahitnya Gempol, Pahitnya Perubahan

Pohon Gempol kini makin langka di Andong. Dulu tumbuh liar, kini hanya bisa ditemukan di beberapa kebun tua. Rasanya pahit, seperti kenangan masa ketika alam masih bersahabat. Namun bagi masyarakat Osing Andong, pohon itu bukan sekadar tumbuhan ia simbol bumi, simbol adat, dan simbol keberlanjutan.

Di tengah perubahan iklim, mereka bertahan dengan doa, kerja di ladang, dan keyakinan bahwa bumi hanya bisa dijaga dengan kebersamaan. Karena di Andong, tradisi bukan sekadar masa lalu ia adalah cara untuk bertahan di masa depan. (man)