(Foto: Humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Pengembangan pertanian organik di Banyuwangi terus dilakukan. Setelah beras organik mendapat pasar di luar negeri, kini komoditas kopi Bumi Blambangan sukses meraih sertifikasi organik.
Kelompok tani (Poktan) Kopi Rejo dari Desa Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, yang berada di kaki Gunung Ijen, telah mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sebagai produsen kopi organik.
Poktan Kopi Rejo menerima dua
sertifikat organik, yakni sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) dari
lembaga sertifikasi Icert Bogor; dan sertifikat Ekspor Uni Eropa yang
diterbitkan ACT (Organic Agriculture Certification Thailand), lembaga
sertifikasi organik yang berbasis di Thailand.
“Menurut dua lembaga sertifikasi
tersebut, Poktan Kopi Rejo secara legal dan konsisten telah memenuhi
persyaratan dalam memproduksi kopi organik,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan
Pangan Kabupaten Banyuwangi, Arief Setyawan (6/9/2021).
“Ini pencapaian yang membanggakan
bagi Banyuwangi yang tengah getol mengembangkan budidaya kopi organik,” imbuhnya.
Lembaga Icert, lanjut Arief,
menyatakan, kopi yang diproduksi Kopi Rejo dengan merek ”Kopi Lego” itu
dinyatakan bebas pestisida dan pupuk kimia berdasarkan pedoman SNI 6729:2016,
Permentan No.64/2013, dan Perka BPOM I/2017.
Adapun lembaga ACT Thailand
menyebut, Kopi Lego telah memenuhi standar pasar Uni Eropa (UE) karena telah
sesuai dengan ketentuan standar organik Amerika Serikat dan Canada.
“Artinya produk Kopi Lego sudah
layak ekspor ke pasar Uni Eropa. Ini membuktikan, kopi rakyat Banyuwangi tidak
kalah dengan produk kopi milik perkebunan,” ujar Arief.
Lahan kopi yang dikembangkan Kopi
Rejo seluas 32,5 hektar. Adapun produk yang disertifikasi adalah kopi Robusta
dan Ekselsa dalam bentuk biji kopi (green bean), biji yang sudah di-roasting,
dan bubuk kopi.
Menurut Arief, budidaya kopi dengan
sistem organik sangat menguntungkan petani. “Saat masih non organik,
produksinya 700-800 kuintal per hektar. Sekarang menjadi 1,3 ton per hektar,”
ujarnya.
Harga kopi organik di pasaran pun
lebih tinggi. "Kopi organik Rp40 ribu per kg. Sedangkan kopi biasa sekitar
Rp30 ribu per kg. Tentu ini meningkatkan kesejahteraan petani,” ujar Arief.
Sementara itu, Ketua Poktan Kopi
Rejo, Taufik, menjelaskan penerapan sistem budidaya kopi organik ini telah
dirintis sejak lima tahun lalu.
“Sejak 2016, anggota poktan kami
berkomitmen tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Kami memilih
menggunakan pupuk kompos dari kotoran kambing. Kebetulan di Desa Gombengsari
banyak peternak kambing sehingga mudah mendapatkan bahan bakunya,” ujar Taufik.
Taufik lantas menceritakan upayanya
mendapatkan pengakuan kopi organiknya yang tidak mudah.
“Kami melewati penilaian 3 tahun
untuk mendapatkan sertifikasi organik. Kami selalu konsisten menerapkan
pertanian organik mulai budidaya, panen, hingga pasca panen. Sama sekali tidak
menggunakan bahan kimia. Alhamdulillah produk kami terbukti bebas kimia,” urai
Taufik.
Taufik memaparkan, keberhasilan
mendapatkan sertifikat tersebut tak lepas dari dukungan pemerintah. Selama
proses penilaian, kata dia, BBPPTP Surabaya bersama Dinas Pertanian dan Pangan
Kabupaten Banyuwangi terus mendampingi.
Dinas Pertanian Banyuwangi, imbuh
Arief, terus berupaya memperluas budidaya kopi organik.
“Roadmap pengembangan dalam waktu dekat adalah pengajuan sertifikat indikasi geografis (IG). Sertifikat IG dibutuhkan agar produk organik Banyuwangi yang telah tersertifikasi ini bisa merambah ekspor dengan identitas kita sendiri. IG ini penting sebagai peneguhan identitas kopi asli Banyuwangi,” kata Arief. (Humas/kab/bwi)