Penyerahan secara Simbolis Sertifikat Pelatihan. (Foto: Bhogi DKB)
KabarBanyuwangi.co.id - Pelatihan Menajemen Produksi Seni Pertujukan yang berlangsung dua hari (28-29 Mei 2021), secara resmi ditutup oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Choliqul Ridho.
Dalam sambutan penutupan Choliqul Ridho mengatakan, menghadapi era kedepan, setiap pelaku kesenian tradisional harus lebih profesional dengan menerapkan manajemen pertunjukan.
Pelatihan yang berlangsung di Warung Watu Semar, Desa
Paspan, Kecamatan Glagah, diikuti 40 peserta perwakilan Sanggar Seni dan Group
Kesenian Tradisional. Sebanyak 25 Sanggar Tari, 15 diantaranya dari Group, Janger, Rengganis dan Wayang Orang.
“Pertunjukan kesenian tradisional Banyuwangi yang sudah
mendapat perhatian luas, harus diikuti oleh profesionalisme pelakunya. Kalaupun
belum bisa menerapkan sepenuhnya manajemen produksi seni pertunjukan, minimal
sudah ada perubahan menjadi lebih baik,” kata Choliqul Ridho, Sabtu (29/5/2021).
Penutupan Pelatihan Manajemen Produksi Seni
Pertunjukan. (Foto: Bhogi DKB)
Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB), Hasan
Basri berharap, agar para pemilik Sanggar dan Group Kesenian tradisional terus
belajar dan menyesuaikan dengan kebutuhan jaman.
Apalagi era media sosial seperti saaat ini yang sudah
mewabah, bisa digunakan sebagai sarana komunikasi.
“Pelatihan tidak hanya berakhir di tempat ini, kalua ada
keluhan atau masalah bisa ditanyakan langsung memlaui group WhatsApp (WA).
Kalau bisa, semua pemilik Sanggar dan Group Kesenian, bisa menerapkan ilmu-ilmu
yang sudah dibagi dalam pelatihan,” kata Hasan Basri.
Hasan Basri menambahkan, akhir kegiatan pelatihan adalah
awal dari kegiatan kita masing-masing pemilik Sanggar dan Grup Kesenian
tradisional untuk menerapkan manajemen sanggar dan pertunjukan yang baik.
“Ini adalah tanggung jawab kita semua, untuk tetap
mempertahankan peran seni budaya sebagai lokomotif pembangunan di Banyuwangi,” tambah
pria asal Mangir, Rogojampi ini.
“Banyuwangi menemukan momentum perkembangan yang luar
biasa, ketika seni budaya dijadikan core pembangunan,” imbuhnya.
Ardya Hariyo dari grup kesenian Jaranan Singo
Budoyo. (Foto: Budi Osing)
Menanggapi hal tersebut, Ardya Hariyo dari grup kesenian jaranan
‘Singo Budoyo’ Purwoharjo, berharap agar apa yang diperolehnya dari pelatihan
ini bisa sepenuhnya diterapkan di grup keseniannya.
“Selama ini kan semua yang ngatur Bos. Kita tinggal main
saja. Kalau diatur dengan model manajemen seperti ini, pasti hasilnya akan
lebih baik, karena masing-masing bagian bisa dikerjakan secara maksimal,”
ungkapnya.
Hal senada juga diungkap oleh Suheryanto dari grup kesenian
Damarulan “Sri Budoyo Pangestu” Bongkoran, Srono. “Grup kita memang belum
seperti yang diharapkan dalam pelatihan ini. Namun setelah mendapatkan ilmu,
kita optimis bisa melakukannya,” tandasnya. (bud)