Warga Dusun Rejopuro, Kampunganyar, Glagah berbondong-bondong menuju ke sumber mata air Kajar. (Foto: Istimewa)
KabarBanyuwangi.co.id - Di tengah modernitas, masyarakat Using
Banyuwangi, masih tetap teguh memegang tradisi dan ritual adat yang diwariskan
leluhurnya. Salah satu warisan budaya yang lestari hingga kini adalah tradisi
Ithuk-Ithukan.
Upacara syukuran tahunan di Dusun Rejopuro, Desa
Kampunganyar, Kecamatan Glagah ini digelar setiap tanggal 12 Dzulqaidah dalam
penanggalan Jawa, berlangsung khidmat dan khusyuk serta semangat kebersamaan
dalam merayakan berkah sumber mata air Mengarang, atau yang lebih dikenal
Kajar, Sabtu (10/5/2025).
Sumber mata air yang sangat jernih tersebut bukan hanya
sekadar penopang kebutuhan sehari-hari, namun juga urat nadi kehidupan bagi
warga Rejopuro dan sekitarnya.
Menurut Sarimo, sesepuh adat Rejopuro, tradisi ini adalah
wujud mendalam bagi warga sekaligus ungkapan rasa terima kasih kepada Sang
Pencipta atas anugerah adanya mata air yang tak pernah surut.
"Ini adalah ungkapan syukur kami atas limpahan sumber
mata air. Tentu saja, ini adalah berkah yang memberikan manfaat besar bagi
seluruh masyarakat di sekitar sini," tuturnya di sela ritual.
Inti dari ritual ini adalah "ithuk" hidangan
menggunakan wadah daun pisang berisikan nasi lengkap dengan lauk pecel pitik,
yaitu suwiran ayam panggang ditaburi parutan kelapa berbumbu pecel yang khas.
Hidangan istimewa tersebut kemudian diarak dalam sebuah
prosesi budaya yang meriah, diiringi alunan musik dan tarian kesenian Barong
Cilik Sukma Kencana, Kuntulan Putri Kembar, dan Sanggar Nampani.
Barisan perempuan membawa ithuk di atas kepala, berjalan
kaki menuju arah timur, kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Setelah itu,
mereka berputar ke arah barat, menuju lokasi sumber mata air Kajar.
Arak-arakan ithuk yang dibawa warga ke sumber mata air
Kajar. (Foto: Istimewa)
Di tempat yang dianggap suci ini, seluruh masyarakat
berkumpul dan bersama-sama menyantap hidangan ithuk sebagai simbol kebersamaan
dan rasa syukur yang mendalam.
"Semoga hajat masyarakat terus mengalir seperti sumber
di sini. Alhamdulillah sumber air ini mengalir stabil, tidak sampai kering,
tidak sampai kecil, maupun sampai banjir," harap Sarino dihadapan
masyarakat adat.
Lebih dari sekadar ritual, tradisi yang diperkirakan telah
ada sejak tahun 1617 ini juga menjadi momentum penting untuk mempererat tali
silaturahmi antarwarga. Nilai kebersamaan dalam masyarakat Rejopuro tercermin
begitu kuat, bahkan warga yang berhalangan hadir karena sakit pun tak luput
dari perhatian.
Dalam prosesi yang sakral, ithuk akan diantarkan langsung
ke kediaman mereka, memastikan tidak ada seorang pun yang terlewatkan dalam
kebahagiaan ini.
Dengan terus melestarikan tradisi Ithuk-Ithukan, masyarakat
di Rejopuro membuktikan bahwa kearifan lokal dan nilai-nilai spiritual dapat
terus hidup dan relevan di tengah arus perkembangan zaman yang pesat. (anj/man)