Almarhumah Gandrung Poniti saat menerima penghargaan dari Pemprov Jatim. (Foto: Dok/Artevac)
KabarBanyuwangi.co.id - Setahun sudah (8 Juni 2020), Gandrung Poniti, atau saya akrab memanggil Mak Pon, meninggalkan Jagad Seni Banyuwangi untuk selama-lamanya. Kepulangan Mak Pon memang tidak begitu dirasakan, karena sebelumnya memang sepi dari publikasi.
Mak Pon yang asli Dusun Genitri, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu (sebelumnya Kecamatan Singojuruh), memang lebih senang menyendiri di rumah petak Dusun Tegalmojo, Desa Kemiri, Kecamatan Singojuruh. Tetangga sekitarnya tidak tahu, jika Mak Pon adalah guru dari gandrung-gandrung senior Banyuwangi.
Selama 2 tahun terakhir sebelum meninggal, saya
berkomunikasi intens dengan almarhumah. Sebelumnya mendengar aktivitasnya saat
muda, dari keterangan implisit gandrung senior lainnya. Keyakinan saya atas
kebesaran nama Mak Pon menggelora, setelah mereview kasset-kasset lama Gandrung
Poniti, untuk kepentingan chanel Youtube Artevac.
Dari puluhan kasset, saya mencermati Album “Onde-Onde”, ternyata ini memang populuer di jamannya, dengan syair sederhana terntang kehidupan sehari-hari. Saya juga bisa membandingkan kualitas vokalnya yang bersih, vibrasinya terukur dan cengkok Using masih terlihat.
Kekaguman kepada Mak Pon, akhirnya menggiring saya menemui
di tempat tinggalnya. Mak Pon yang selalu sumringah, serta seperti orang Using
umumnya, Gupuh (sibuk) dan Suguh (jamu/hidangan) saat meneima
tamu. Seringkali saya memilih bertemu di tempat lain, daripada harus merepotkan
Mak Pon.
Mak Pon meskipun sudah meninggalkan panggung Gandrung
Terop, tetapi aktivitas berkesenian tidak pernah berhenti. Sering diajak
seniman-seniman muda, untuk mendukung konsep kesenianya. Bahkan setiap Sabtu
sore ikut mendukung Angklung Soren di RTH Singoruh, bersama seniman-seniman
muda Singojuruh.
Mak Pon yang lugu, selalu melepas alas kaki
setiap masuk mobil (Foto: Dok/ Artevac/Elvin Hendratha)
Saat itulah, kebesaran Mak Pon mulai muncul kepermukaan.
Bahkan banyak teman dan koleganya yang lama tidak bertemu, baru bertemu saat
beraktivitas di RTH Singojuruh. Seniman muda Singojuruh yang sebelumnya lebih
berpaling ke seniman lain, akhirnya tahu jika Mak Pon lebih senior dan menjadi
guru dari Gandrung senior di Banyuwangi.
Mak Pon pendiam, tetapi tidak tertutup. Pantang menggunjing
orang lain, bahkan hati-hati kalau perbincang sudah menyinggung orang lain.
Saya mendapat informasi, jika Mak Pon keras kalau mendidik calon Gandrung yang
belajar ke dia. Meski sudah lama bertemu dan ngomong masalah Gandrung, Mak Pon
tidak pernah cerita kalau Gandrung yang populer itu adalah anak didiknya.
Setelah saya kroschek informasi itu, Mak Pon baru cerita.
Jika ketegasan dalam mendidik calon Gandrung tersebut diakuinya. Prinsipnya,
Gandrung harus mempunyai suara bagus, selain bisa menari dengan pas. Upaya
mendapatkan suara bagus, itu berlatih pisik yang mungkin dianggap tidak wajar.
Mak Pon juga berpesan kepada calon Gandrung, agar belajar
mendengarkan musik pengiring Gandrung dengan baik. Tidak ada hitunngan baku,
namun kepekaan rasa yang dilatih. Kapa harus menggerakan anggota tubuh, kapan
juga harus bergoyang. Itulah ilmu-ilmu dasar, sekarang mungkin agak luntur
diganti hitungan gerak setiap langkah.
Meskipun demikian, tidak semua calon Gandrung yang belajar
ke Mak Pon diterima. Mak Pon mempuai penginderaan yang tajam, dalam melihat
mereka yang ingin belajar Gandrung tulus apa ada muatan tertentu. Melalui sorot
mata yang tajam, ketidak tulusan atau tidak adanya potensi seni pada seseorang
akan terlihat.
Dari beberapa lama bergaul dengan almarhumah, saya sudah
menyiapkan menjadi tentang mendokumentasikan. Belum ada dalam kasanah buku
tentang kesenian Gandrung yang ada pada diri Mak Pon. Ini memang menjadi
Pekerjaan Rumah (PR) besar, entah siapa yang bisa menjalankan.
Mak Pon dan Penulis, saat istirahat dalam
perjalanan ke Surabaya. (Foto: Artevac)
Masih banyak yang harus diungkap keluar, tentang kesenian yang menjadi Maskot Kabupaten Banyuwangi. Kebanyakan orang hanya tahu tari Jejer Gandrung dan Paju Gandrung. Mereka tidak tahu, bagaimana proses panjang dalam melahirkan seorang penari Gandrung Profesional.
Mak Pon sendiri anak dari seorang guru ngaji di Genitri,
bahkan pernah mendapat juara baca Al-qur’an (Qiroah) pada waktu kecil. Bekal
suara ini, ternyata sudah dimilikinya sebelum memutuskan menjadi Gandrung
Profesional. Infomrasi ini sekalgus bisa menghapus stigma orang, sering
membandingkan kesenian Gandrung dengan agama.
Dalam segala keterbatasan ekonomi, Mak Pon tidak pernah mengeluh.
Bahkan kerja apapun dijalani, demi menyambung hidup tanpa gengsi dan
menanggalkan nama besar di panggung kesenian. Saya pernah menemuinya, saat
buruh “matun”, atau membersihak rumput di sela tanaman padi.
Mak Pon yang menyebut saya “Anak hun hang nggateng"
(anaku yang tampan), tidak pernah menyembunyikan keceriannya. Bagi
almarhumumah, kerja apapun dia jalani. Dia juga tidak mau merepotkan orang
lain. Kemanapun kalau tidak sakit, akan dijalani dengan mengendarai serpeda
motor bututnya.
Kalau sudah nyambung secara psikologis, Mak Pon banyak
bercerita dan menjawab setiap yang ditanyakan. Namun berkat ketajaman memandang
seseorang, Mak Pon juga sering berpaling kepada orang yang ingin mengajak ngomong,
atau sekedar mengajak foto.
Saya juga masih ingat, saat Mak Pon bertemu dengan Mak Temu Misti Kemiren yang sebelumnya sudah dinobatkan sebagai Maestro Gandrung Banyuwangi. Kelihatan sebagai senior lebih berwibawa, mulai cara berbicara hingga gesturnya kelihatan sekali.
“Kelendi kabare Beng?” (Bagaimana kabare Dik?), begitu tanya singkat. Kemudian Mak Temu banyak bercerita, bagaimana dulu saat belajar Gandrung kepada Mak Pon. Juga kejadian-kejadian menggelikan, saat pentas Gandrung tahun 1970-an.
(Penulis: Elvin Hendratha, Pembina Kelompok Angklung Muda
Ki Ageng Joyo Karyo dan Penulis Buku: Angklung, Tabung-Musik Blambangan)