(Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id – Warung bakso Lesehan Hijau di Desa Sraten, Kecamatan Cluring milik Abdullah itu terlihat meriah. Para pengunjung tak hanya menyantap gurihnya kuah bakso, tapi juga mengikuti serunya Tour de Banyuwangi Ijen (TdBI) 2025.
Mereka menyaksikan keseruan para pembalap dunia beradu cepat di jalanan bumi Blambangan melalui siaran langsung TdBI dari chanel Youtube Kabupaten Banyuwangi.
Menggunakan layar sebesar 32
inci, penonton dengan nyaman mengikuti aksi Jeroen Meijers dan lainnya. “Sampai
empat hari kita akan nobar,” kata Abdullah.
“Sudah jadi kebiasaan. Kalau TdBI
digelar, pasti kita nobar di sini. Tahun kemarin kita bahkan pakai speaker,
tapi sekarang rusak,” cerita Abdullah, pemilik warung yang juga penggemar tim
sepeda asal Banyuwangi, BRCC.
Sudah 10 tahun dilaksanakan,
masyarakat Banyuwangi punya cara sendiri menikmati gelaran balap sepeda ini.
Ada yang menunggu di pinggir
lintasan sejak pagi, ada yang menyimak lewat layar ponsel sambil bekerja, ada
pula yang sengaja datang ke lokasi-lokasi rute pembalap demi menyaksikan para
pembalap terbaik melaju kencang.
Bagi warga, TdBI bukan lagi
sekadar tontonan. Ini sudah jadi bagian dari ritme tahunan, event yang
ditunggu-tunggu. Bahkan mereka yang lintasannya tidak dilalui pun tetap
menyempatkan diri untuk menyaksikan langsung.
“Saya tinggal di Kecamatan
Genteng, jalan rumah saya nggak dilewati balapan. Tapi saya tetap datang ke
Sraten, khusus buat nonton. Saya akan ke Ijen, melihat tanjakan langsung,” ujar
Ismail, seorang guru SD yang terlihat sangat antusias.
Hal serupa dirasakan Sukirno,
warga Desa Jelun, yang ikut bersorak saat konvoi pembalap melintas. “Ayo
Mister! Jangan sampai disalip!” serunya sambil tertawa bersama warga lain.
Di sudut lain, Agus, pedagang
buah dari Siliragung, hanya bisa tersenyum meski balapan tak melewati
kampungnya. “Seneng lihatnya, tapi sayang nggak lewat rumah,” katanya.
Bagi pemerhati sosial Banyuwangi,
Ir. KH. Ahmad Wahyudi, TdBI bukan sekadar event olahraga. Ada semacam energi
kolektif yang tumbuh dari interaksi warga dengan kegiatan ini.
“Warga rela berdiri berjam-jam di
pinggir jalan, hanya untuk memberi semangat. Ini bukan perilaku biasa. Mereka
ikut merasa memiliki,” ujarnya.
Ia menambahkan, efek non-material
dari TdBI jauh lebih besar dari yang terlihat. Anak-anak terinspirasi,
masyarakat belajar tertib dan disiplin, dan semua merasakan kebanggaan menjadi
tuan rumah event internasional.
“Yang mahal itu bukan cuma nilai
ekonominya, tapi nilai sosialnya. Ini menggerakkan semangat gotong royong dan
membuka cara pandang baru bagi generasi muda,” tegasnya.
Bupati Banyuwangi Ipuk
Fiestiandani menyebut bahwa TdBI telah menjadi bagian dari “tradisi”
masyarakat.
“TdBI bukan hanya sekadar ajang
balap, tapi sudah menjadi peristiwa budaya. Masyarakat merayakannya dengan
sukacita, dan itu menunjukkan bahwa mereka telah menyatu dengan semangatnya,”
ujarnya.
Memasuki tahun ke-10
penyelenggaraan, Tour de Banyuwangi Ijen bukan lagi sekadar lomba. Ia telah
menjelma menjadi bagian dari identitas.
Para pembalap tak hanya disambut dengan tepuk tangan, tapi juga dengan rasa bangga dari masyarakat Banyuwangi yang menyaksikan dan merayakan dari mana pun mereka berada. (humas/kab/bwi)