Alvin Hendratha, penulis Bukua Angklung: Tabung Musik Blambangan. (Foto: Dok. Artevac)
KabarBanyuwangi.co.id - Terlalu banyak yang bisa dituliskan terkait buku ini. Para pembaca memiliki banyak pilihan angle untuk membacanya, baik dari aspek komposisi musikal maupun sejarah perkembangannya yang cukup dinamis.
Saya sendiri mencatat beberapa hal yang mungkin bisa diperdalam lagi oleh Elvin seandainya akan mencetak edisi kedua buku ini. Pertama, menjernihkan persoalan stigmatisasi yang dialami para seniman angklung yang berafiliasi ke dalam Lekra.
Mereka memang berpihak secara politik, tetapi tidak
sepatutnya pemerintah dan masyarakat
tetap memelihara stigma kepada kiprah dan kontribusi para seniman dan kesenian
yang pernah berafiliasi ke Lekra.
Bagaimanapun juga, Muhammad Arif dan seniman yang
berafiliasi ke Lekra telah memperjuangkan budaya Blambangan secara ideologis
dan praksis dan itu adalah kontribusi yang luar biasa.
Kalaupun mereka memilih lembaga kebudayaan yang berafiliasi
ke PKI, tentu kita harus melihat konteks zaman di mana para seniman yang lain
pun berafiliasi ke dalam lembaga kebudaya yang menjadi underbow partai politik
lainnya. Sudah saatnya, generasi muda Banyuwangi mendapatkan informasi yang
lebih jernih terkait para pendekar angklung itu.
Kedua, mengungkap lebih jauh kehidupan dan kreativitas para
seniman pembuat angklung yang berkontribusi terhadap kehidupan budaya angklung
di Banyuwangi. Teknik-teknik pembuatan, meskipun akan sulit, bisa diuraikan
dilengkapi dengan gambar-gambar agar memudahkan pemahaman.
Permasalahan hidup yang mereka alami dan bagaimana mereka
mempertahankan kecintaan dalam membuat angklung, meskipun perhatian dari
pemerintah sangat kurang--untuk mengatakan tidak ada.
Bagaimanapun juga, para seniman pembuat itu adalah
subjek-subjek kreatif yang tidak bisa lepas dari permasalahan dan siasat.
Paparan akan proses kreatif dan kehidupan mereka akan menjadi warna tersendiri
yang bisa memperkaya buku Angklung.
Akhirnya, izinkan saya untuk, sekali lagi--tanpa bosan,
mengucapkan selamat atas terbitnya Anklung, Tabung Musik Blambangan. Buku ini
adalah karya akademis yang memproduksi banyak wacana kalau kita jeli
membacanya.
Elvin, memang tidak bicara tentang pernik-pernik
permasalahan politik lebih lanjut, tetapi ia memberikan banyak penanda bahwa
realitas politik sejatinya tidak bisa dilepaskan dari perjalanan historis
angklung.
Keterangan Gambar : Penampilan
Angklung Caruk Generasi Muda Jaya Karyo Sawahan, Banyuwangi. (Foto: Dok.
Artevac)
Bagi saya, buku ini akan menjadi semangat dan energi untuk
terus mewacanakan dan menggerakkan kesenian rakyat yang benar-benar tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat beserta
kemungkinan-kemungkinan transformasinya kedalam garapan masa kini tanpa
meninggalkan keberpihakan tematik. Elvin menggunakan istilah “Blambangan” dalam
judul bukunya alih-alih “Banyuwangi”.
Menurut saya, itu adalah penanda bahwa angklung bisa
menjadi energi besar untuk merespons secara kritis dan resisten
kekuatan-kekuatan dominan dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang
berpotensi memarjinalkan kehidupan dan budaya rakyat serta merusak lingkungan
alam dan ruang hidup masyarakat, sepertihalnya ditunjukkan oleh para pemimpin
Kerajaan Blambangan yang telah dengan gagah dan berani melawan
kekuatan-kekuatan dominan di masa lalu. (Selesai)
Rujukan
Bhabha, Homi. 1994. The Location of Culture. New York:
Routledge.
Hendartha, Elvin. 2021. Angklung, Tabung Musik Blambangan.
Banyuwangi: Sengker Kuwung Blambangan.
Ong, Walter J. 2002. Orality and Literacy The
Technologizing of the Word. London: Routledge.
Setiawan, I., & Subaharianto, A. (2019). Never-ending
Local Beauty: Neo-Exoticism in Tourism Activities and Online Media Narratives.
Proceedings ofthe 3rd International Conference on Art, Language, and Culture
2018. doi: https://doi.org/10.2991/icalc-18.2019.28.
Setiawan, I., & Subaharianto, A. (2020). Neo-Exoticism
as Indonesian Regional Government’s Formula for Developing Ethnic Arts:
Concept, Practice, and Criticism. Proceedings of the 4th International
Conference on Arts Language and Culture (ICALC 2019). doi:
https://doi.org/10.2991/assehr.k.200323.020.
Setiawan, I., Tallapessy, A., & Subaharianto, A.
(2017a). The Mobilization of Using Cultures and Local Governments’ Political
Economy Goals in Post-Reformation Banyuwangi. Humaniora, 29(1): 12-23.
Setiawan, I., Tallapessy, A., & Subaharianto, A.
(2017b). Exertion of Cultures and Hegemonic Power in Banyuwangi: The Midst of
Postmodern Trends. Karsa, 25(1): 147-178.
Catatan akhir
[1] Ini pula yang menjadi impian seniman, etnomusikolog,
dan budayawan besar, Sahunik, sebelum menghembuskan nafas. Dalam banyak
perbincangan, Sahunik sering mengatakan kepada saya: “Banyak kesenian di
Banyuwangi, macem-macem, tapi yang mau menulisnya, dari urusan bentuk, pakem,
dan keragamannya, masih belum ada. Saya berharap suatu saat ada yang mau
melakukannya.”
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik
identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)