Pohon asam Jawa sepanjang jalan Kelurahan Banjarsari-Licin tempat ibu berlindung dari tentara Jepang. (Foto: Bambang Sutejo)
KabarBanyuwangi.co.id - Ketika ada kesempatan pulang kampung ke Banyuwangi pekan lalu, saya mencari temanku yang dulu sekolah di SDK Santa Maria yaitu Sukartono yang kerja di Ijen Cliff Resto, Licin.
Ditemani Budi Sampurno, juga teman di SDK, saya mengendarai sepeda motor naik ke Licin. Tak sengaja pandangan saya terpusat ke deretan pohon asam Jawa (tamarindus indica) yang tumbuh berderet di sepanjang jalan antara Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah hingga Licin, Kabupaten Banyuwangi (sekitar 9 kilometer) telihat pohon asam.
Tiba-tiba pikiran saya ingat pada cerita Ibuku yang dituturkan
saat menjelang tidur (sekitar tahun 1969-1970). Ibu berkisah, pohon asam ini
menjadi tempat berlindung ibu dari tentara Jepang.
Begini kisahnya: Pada saat Banyuwangi diduduki Jepang (1942-1945),
Bapak saya M. Kaswadi Yososumarto yang ikut perang gerilya, pernah ditangkap dan
ditahan di Markas Jepang di Licin.
Ibu yang tinggal di desa Boyolangu, Kecamatan Giri,
seminggu sekali menjenguk Bapak dengan jalan kaki dari Boyolangu ke Licin. Jarak
Boyolangu - Licin sekitar 10 kilometer.
Bapak M. Kaswadi Yososumarto (alm) dan Ibu
Chatidjah (almh). (Foto: Bambang Sutejo)
Saat itu, jalan ke Licin masih bebatuan. Tidak jarang, saat
berjalan Ibu berpapasan dengan tentara Jepang yang sedang berpatroli. Setiap
berpapasan, tidak jarang ibu terpaksa berlindung di balik pohon asam yang tumbuh
berderet sepanjang jalan itu, dengan berpura-pura atau menyamar jadi masyarakat
yang sedang mencari kayu bakar.
Alhamdulillah, dengan cara seperti itu Ibu, selamat sampai
akhirnya Bapak berhasil bebas setelah ditahan beberapa bulan.
Konon pembebasan Bapak dari tahanan Jepang juga unik, yaitu
dibantu paman Kaelan, suami Bulik Sukiyem (Adik Bapak) yang memiliki ilmu
Kanuragan. Bapak diajak keluar oleh Paman, lewat dekat tentara Jepang yang
sedang main gaple (percaya atau tidak).
Setelah bebas, Bapak bergerilya lagi di kawasan Pekulo,
Kepundungan, Parijatah Kulon hingga Sasak Bomo dan sekitarnya. Bapak pernah
cerita saat bergerilya di daerah Parijatah bersama teman-teman seperjuangannya,
sempat dijamu oleh Kepala Desa dengan menyembelih seekor sapi.
Bapak terus bergerilya dan jarang sekali pulang ke
Boyolangu. Bahkan Ibu juga cerita, Bapak pernah tidak pulang selama satu tahun.
Sempat dikira Bapak sudah meninggal, hingga Ibu mengadakan selamatan (kirim doa
Tahlil), untuk menandai ketidakpulangan Bapak selama satu tahun itu.
Eh.. Ternyata belum selesai selamatan, tetangga Ibu mengatakan, "Yu Idjah (Ibuku bernama Chatidjah) Mas Di (Kaswadi) mulih. Saiki magih nang pondok sawah kidul." Mbak Idjah, Mas Di pulang. Sekarang masih di gubuk sawah selatan)
Bersama temanku SDK Santa Maria Banyuwangi
(alumni 1971) Sukartono (kaos Kuning) dan Budi Sampurno (kaos hitam). (Foto:
Bambang Sutejo)
Seketika ibu terduduk lemas dan tidak tidak bisa bicara.
Betul, jelang tengah malam Bapak masuk rumah lewat pintu belakang. Namun jelang
dini hari, Bapak terpaksa lari lagi karena rumah digerebek tentara Jepang.
Konon kepulangan Bapak tercium oleh mata-mata Jepang yang
ada di desa Ibu. Bahkan mata-mata inilah yang pada suatu saat, membocorkan
keberadaan Bapak hingga akhirnya Bapak berhasil ditangkap dan ditahan di markas
Inggrisan (Barat Taman Blambangan saat ini).
Bapak terus bergerilya. Sampai Jepang terusir pada tahun
1945. Sejak itu, Bapak menjadi bagian Tentara Rakyat Indonesia (TRI) hingga
mengundurkan diri pada sekitar 1950-an, karena ibu tidak bersedia ikut Bapak
dipindah ke Bali.
Inilah secuil kisah perjuangan Bapak dan Ibuku saat pra Kemerdekaan
RI. Semoga bermanfaat, setidaknya bagiku dan saudara-saudaraku. Salam Jengkirat
Tangi..!!
(Penulis: Bambang Sutejo, mantan Wartawan Media Nasional
“Bisnis Indonesia” asal Boyolangu. Sekarang tinggal di Kota Malang)