Mak Temu Misti, Maestro Gandrung Pemegang Teguh Tradisi Masyarakat UsingKelompok Seni Angklung Joyo Karyo

Mak Temu Misti, Maestro Gandrung Pemegang Teguh Tradisi Masyarakat Using

Gandrung Temu Misti saat menerima silaturahmi anak-anak Joyo Karyo. (Foto: Elvin Hendratha)

KabarBanyuwangi.co.id -  Gandrung Temu Misti yang lahir 20 April 1953, dikenal sebagi Maestro Gandrung Banyuwangi. Pelestari seni tradisi masyarakat Using, juga budaya Using hingga kini masih dipegang teguh.

Saya dan anak-anak muda Joyo Karyo, kebetulan merayakan kemenangan kompetisi Patrol 2021 tingkat Kabupaten dan Provinsi secara sederhana, sekaligus halal bihalal.

Namun secara spontan, usai acara ada yang nyeletuk mengajak bersilaturahmi ke rumah Maesto Gandrung, Mak Temu Misti di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.

Baca Juga :

Tawaran itu langsung direspon tanpa bantahan, pada tengah malam, Sabtu (22/5/2021) pukul 11.00 WIB, kami dan rombongan tiba di rumah Mak Temu. Setelah mengetahui rombongan kami ada yang dikenal, yaitu Sobari Sofyan sebagai Koreografer Banyuwangi, Mak Temu meyambutnya dengan suka cita.


Mak Temu Misti bersama Sobari Sofyan masih mengenakan seragam Dharma Wanita. (Foto: Elvin Hendratha)

Layaknya orang tua, Mak Temu senang sekali menerima anak-anak Joyo Karyo, bak anak-anaknya sendiri yang lama tak ketemu. Kami pun saling bermaaf-maafan, karena masih suasana Lebaran.

Saat itu Mak Temu yang terbiasa manggung mulai jam 21.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB, terlihat belum kantuk. Diusia 68 tahun masih terlihat sehat dan lincah, bahkan keluar masuk ruang tamu ke kamar dan dapur.

“Ana Gedhogan sing ana sapine, ana badhogan sing ana kopine", artinya ada kandhang tidak ada sapinya, ada makanan tidak ada kopinya.

Begitu Mak Temu secara spontan Basanan melihat keadaan, kemudian anak-anak merasa kasihan dan tidak mau merepotkan Mak Temu, ada yang memegangi agar tidak usah membikin kopi. Bahkan Mak Temu sudah ambil uang di kamar, mau keluar rumah untuk membeli sesuatu.

Kemudian salah satu dari rombongan ada yang nyeletuk, “Bek, kaya Bu Lurah Ma Temu iki” (Wah, seperti Ibu Lurah Mak Temu ini).

Celetukan itu mengomentari pakaian yang dikenakan Mak Temu memang Seragam Dharma Wanita era Ordebaru. Setelah menyadari ada yang kurang pas, Mak Temu bergegas pamit masuk kamar untuk ganti pakaian.


Mak Temu bersama Sobari Sofyan setelah berganti baju lebaran. (Foto: Elvin Hendratha)

Mak Temu benar-benar memegang prinsip orang Using, kalau ada tamu harus Gupuh Suguh. Gupuh artinya lekas, bergegas atau cepat-cepat. Suguh artinya makanan atau hidangan.

Jadi orang Using itu apabila kedatangan tamu, selalu cepat-cepat mencari makanan dan minuman untuk tamunya. Itulah yang dilakukan Mak Temu saat menerima anak-anak Joyo Karyo, tidak peduli dengan situasi yang sudah malam dan keadaan hidup sendirian.

Usai ganti pakaian, sebagai orang Islam umumnya, Mak Temu begitu menghargai hari besar Idul Fitri atau Lebaran. Memang situasinya masih Syawalan, maka dikenakannya pakaian baru, berdandan memakai bedak dan lipstick, selayaknya orang menerima tamu. Mak Temu tak henti-hentinya tersenyum, sambal terus memunculkan jok-jok melalui basanan.

Sebagai sesama seniman, anak-anak Joyo Karyo pembincaraannya juga tidak jauh dengan profesi Mak Temu. Salah satu yang diungkapkan anak-anak Joyo Karyo, bagaimana cara menghasilkan suara dengan oktaf tinggi seperti Gandrung.

Mak Temu tak segan berbagi tip, seperti yang ia jalani saat belajar gandrung dari para seniornya. Salah satunya adalah harus melalui proses belajar dan latihan, juga di “pupuh” atau diberi ramuan tertentu.


Mak Temu terlihat akrab dengan seniman-seniman muda. (Foto: Elvin Hendratha)

Anak-anak Joyo Karyo yang semua laki-laki semakin tertarik dan penasaran, sambil melontarkan pertanyaan apakah bisa “pupuh” meningkatkan oktaf suara itu untuk laki-laki. Mak Temu memastikan bisa, asal ada kemauan. Sambil menunjukan salah satu nama di sebuah desa, memang dikenal sebagai “tukang Pupuh” Gandrung.

Keseruan dua generasi yang menekuni bidang yang sama ini memang mengasyikan, tidak terasa waktu sudah menunjukan jam 12.00 malam. Kamipun segera pamit, karena Minggu paginya masih banyak kegiatan.

Terima kasih Mak Temu, atas sharingnya kepada anak-anak yang masih ‘pupuk bawang’ dalam berkesenian. Tetapi kami berkomitmen besar turut membesarkan Banyuwangi melalui upaya dan cara kami.

(Penulis: Elvin Hendratha, Pembina Kelompok Seni Angklung Joyo Karyo, Sawahan Banyuwangi)