Mengenal Pedang Luwuk, Pusaka Bersejarah yang Bikin Penjajah Kocar KacirDisbudpar Banyuwangi

Mengenal Pedang Luwuk, Pusaka Bersejarah yang Bikin Penjajah Kocar Kacir

Pedang Luwuk tersimpan di musium Disbudpar Banyuwangi. (Foto: Istimewa)

KabarBanyuwangi.co.id - Pernah mendengar Pedang Luwuk?. Pedang pendek ini konon menjadi salah satu senjata yang digunakan petinggi dan masyarakat di Jawa di zaman penjajahan Belanda.

Pedang ini fenomenal di eranya karena berhasil membuat kocar-kacir pasukan negeri kincir angin. Pedang ini tercatat pernah ditemukan di daerah kekuasaan masyarakat Kerajaan Majapahit dan masyarakat Kerajaan Blambangan.

Kini, Pedang Luwuk sudah tak digunakan lagi. Pedang kuno dan bersejarah ini terdisplay rapi di Museum Blambangan yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Banyuwangi.

Baca Juga :

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudpar Banyuwangi, KRT. H. Ilham Triadinagoro mengatakan, Pedang Luwuk ditemukan sekitar 15 tahun lalu di daerah Rowo Bayu, Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi.

Pedang itu menjadi saksi sejarah perlawanan masyarakat Kerajaan Blambangan dengan pasukan Belanda. Peperangan itu tercatat dalam sejarah disebut dengan Perang Puputan Bayu yang berlangsung pada tahun 1771-1772.

Pasukan perlawanan dipimpin oleh Mas Rempeg, atau biasa dikenal dengan sebutan Pangeran Jagapati dan Pengeran Putra, yang dikenal dengan sebutan Wong Agung Wilis.

"Pedang Luwuk digunakan dalam peperangan tersebut karena pedang ini terkenal ampuh dan sakti. Pedang ini adalah andalan Rempeg Jogopati selain tombak Biring Lanang. Pedang ini berhasil melukai banyak pasukan belanda hingga membuat kocar-kacir," kata Ilham.

Pedang Luwuk sendiri, dibuat oleh seorang Empu yang bernama Ki Luwuk. Secara bentuk pedang ini nampak sederhana berwarna hitam legam dan memiliki bilah tajam di salah satu sisinya.

Menurut Ilham, terdapat perbedaan antara Luwuk Majapahit dan Luwuk Blambangan, yakni terletak pada motif pamor dan waktu penggunaanya.

“Luwuk Majapahit digunakan pada 1478 saat Perang Paregreg. Luwuk Blambangan digunakan dalam Perang Bayu atau Perang Puputan Bayu tahun 1771,” tambah Ilham.

Luwuk Majapahit memiliki motif pamor bergaris dari pangkal hingga ujung. Luwuk Blambangan memiliki motif bulan sabit berjumlah ganjil, mulai dari satu, tiga hingga lima.


Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudpar Banyuwangi, KRT. H. Ilham Triadinagoro. (Foto: Istimewa)

Ukurannya pun bervariatif dari mulai dari 50 sentimeter hingga 80 sentimeter. Paksinya segitiga langsungan dan tidak bersekat. Gagang pedang biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun banteng.

Sementara materialnya terbuat dari batuan meteorit yang jelas mengandung mineral silica kompleks. Berbagai unsur logam mulai dari nikel, baja, besi hingga titanium terkandung dalam batuan tersebut.

Namun seperti pusaka kuno pada zaman dahulu, pembuatan senjata yang juga disebut Tosan Aji ini tidak bisa dilakukan dengan ala kadarnya.

“Ada berbagai ritual dan serangkaian proses yang dilakukan sang empu agar pusaka tersebut berfungsi sebagai mana mestinya, yakni ampuh saat digunakan bertarung,” jelas Ilham.

Salah satu rahasia yang membuat pedang ini ampuh adalah bilah yang konon dibaluri dengan bisa ular Luwuk atau ular Viper Hijau. Tanpa disabetkan pedang ini sudah menghasilkan efek luar biasa hingga membuat lawan berkelimpangan.

Dari hasil literasi yang Ilham baca, salah satu ritual lain yakni saat pembuatannya. Bilah pedang juga dibaluri darah haid pertama gadis yang masih perawan.

"Pedang ini tidak sembarangan dibuat. Ada ritualnya, mulai dari penentuan hari, pantangannya saat membuat pusaka ini, dibacakan doa dan mantra tujuannya agar pusaka berfungsi kepada pemegangnya," ujarnya.

Dulunya benda pusaka semacam itu, kerap digunakan sebagai benda pelengkap sebuah ritual. Kini fungsinya telah bergeser, menjadi benda koleksi karena nilai estetikanya dan bukti warisan leluhur. "Saat ini menjadi koleksi yang terus berupaya kami rawat, kami jaga agar tetap lestari," tegas Ilham. (fat)