Puluhan kaum muda di Banyuwangi antusias mengikuti pembukaan Kelas Tematik Pesinauan “MANUSKRIP KUNO & MOCOAN” yang diadakan oleh Pesinauan-Sekolah Adat Osing bersama Mocoan Lontar Yusup Milenial. (Foto: MLYMilenial)
KabarBanyuwangi.co.id - Apakah yang kira-kira terjadi jika ritual mocoan Lontar Yusup tidak ada lagi di Banyuwangi? Kira-kira yang terjadi adalah seperti dialami dengan mocoan Lontar Sri Tanjung. Di awal abad 20, ritual pelantunan tembang Lontar Sri Tanjung masih berlangsung, seperti yang dicatat oleh de Stoppelaar dalam Blambangansch Adatrecht. Naskah kuno ini hingga pada awal tahun 1900-an masih digunakan dalam ritual pelantunan tembang di Banyuwangi.
Namun ketika ritual itu tak lagi dilakukan, manuskrip Sri Tanjung seolah lenyap dari Banyuwangi. Saat ini, bisa dikatakan, tak lagi ditemukan manuskrip Sri Tanjung di Banyuwangi. Untunglah beberapa manuskrip Sri Tanjung tersebut beberapa telah disimpan di lembaga penyimpanan naskah di dalam dan di luar negeri.
Namun demikian ritual tradisi pelantunan tembangnya telah
lenyap, sehingga hilang pula bentuk atau cara pelantunan tembangnya di
Banyuwangi (tembang wukir, mijil, mahesa langit dan durma). Hanya tembang durma
yang masih mungkin ditembangkan dengan cara mocoan karena tembang tersebut ada
dalam Lontar Yusup.
Demikianlah materi mengenai “manuskrip kuno dan tradisi
pelantunan tembang di Banyuwangi” yang disampaikan oleh Wiwin Indiarti, salah
satu peneliti manuskrip kuno Banyuwangi, pada pembukaan Kelas Tematik Pesinauan
“MANUSKRIP KUNO & MOCOAN” yang
diadakan oleh Pesinauan-Sekolah Adat Osing bersama Mocoan Lontar Yusup Milenial
(MLYMilenial).
Menurut Naufal Anfal, Ketua MLYMilenial, kegiatan ini
merupakan salah satu upaya memahami khasanah manuskrip kuno di Banyuwangi dan
preservasi seni tradisi Mocoan Lontar Yusup yang telah ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2019.
Kelas tematik di Pesinauan ini akan digelar selama kurang
lebih 4 bulan bertempat di Rumah Pesinauan, Desa Olehsari-Banyuwangi dan
berlangsung setiap minggu sekali. Seluruh kegiatan, baik penyampaian materi
maupun pelatihan, akan dipandu oleh para tetua mocoan di Kemiren, akademisi,
dan mentor dari MLYMilenial maupun Pesinauan.
Menurut Slamet Diharjo, Pengarep Pesinaun-Sekolah Adat
Osing, proses belajar akan dilakukan dengan metode penyampaian materi dan
pelatihan, tentatif sesuai dengan materi belajar meliputi: manuskrip kuno dan
tradisi pelantunan tembang di Banyuwangi, ragam variasi tembang dalam mocoan
Lontar Yusup (cara Kemirenan), pranata ritual mocoan Lontar Yusup, aksara pegon
dalam Lontar Yusup, metrum dan ragam pupuh dalam Lontar Yusup.
Fenomena yang terjadi dengan Lontar Sri Tanjung, bisa
menjelaskan bagaimana unsur manuskrip, ragam tembang dan ritual menjadi 3 faktor
yang saling terkait dengan keberadaan warisan naskah kuno di Banyuwangi.
Salah satu faktor terselamatkannya keberadaan naskah kuno di Banyuwangi adalah karena terus berlangsungnya tradisi ritual yang berkaitan dengan naskah kuno tersebut. Sebagai contoh terkait dengan naskah Lontar Yusup. Karena tradisi mocoan Lontar Yusup Banyuwangi masih berlangsung hingga saat ini, maka penyalinan naskah ini juga terus berlangsung hingga sekarang dalam bentuk naskah tulisan tangan (manuskrip).
Wiwin Indiarti, salah satu peneliti manuskrip
kuno Banyuwangi, mengisi materi awal pada pembukaan Kelas Tematik Pesinauan
“MANUSKRIP KUNO & MOCOAN” yang diadakan oleh Pesinauan-Sekolah Adat Osing
bersama Mocoan Lontar Yusup Milenial. (Foto: MLYMilenial)
Penyalinan ini terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
orang yang ingin mempelajari mocoan Lontar Yusup, maupun sekedar koleksi
pribadi. Diperkirakan ada ratusan manuskrip Lontar Yusup Banyuwangi saat ini
yang beredar di tengah masyarakat Banyuwangi, baik itu manuskrip lama maupun
yang baru. Mbah Senari, salah seorang tokoh penyalin Lontar Yusup, bahkan telah
menyalin hingga 200-an manuskrip Lontar Yusup.
Naskah-naskah lama Lontar Yusup juga dipelihara dengan baik
sebagai pusaka dan harta waris. Hal yang sama juga terjadi pada naskah-naskah
kuno lainnya di Banyuwangi seperti Lontar Ahmad, Lontar Juwarsah, Lontar Hadis
Dagang, cator Pandawa, cator Mi’raj, cator Maljunah, cator Candra Jagat, Ccator
Nurbuat dan lain-lain.
Sebagian besar manuskrip kuno Banyuwangi menggunakan bentuk
tembang macapat dalam penulisannya. Hal ini berkaitan dengan sejarah penulisan
di Jawa yang hanya mengenal penulisan dalam bentuk tembang (puisi tradisonal
Jawa). Jenis tulisan berwujud tembang ini berarti secara tidak langsung
menunjukkan bahwa setiap tulisan orang Jawa masa lalu diproyeksikan untuk
dilagukan atau dilantunkan dan bukan sekedar dibaca (seperti buku pada
umumnya).
Baru pada abad akhir abad 18 orang Jawa mulai banyak
mengenal bentuk penulisan baru di luar tembang. Dalam korpus manuskrip Babad
Blambangan (Babad Tawangalun, Babad Sembar, Babad Purwasastra dan Babad
Notodiningrat), misalnya hanya Babad
Notodiningrat yang tidak berbentuk tembang, yang dibuat di awal abad 20 (tahun
1900an awal).
Karena sebagian besar naskah kuno di Banyuwangi berbentuk
tembang macapat, maka sesungguhnya naskah-naskah tersebut bisa dilantunkan
dengan cara menembangkan yang berbeda-beda sesuai dengan pola nada tembang
masing-masing komunitas etnik yang memiliki pola nada tembang yang berbeda.
Sebagaimana naskah Babad tawangalun yang pernah dilantunkan dengan nada tembang
Osing, Jawa, Madura, dan Bali. Hal itu dimungkinkan karena naskah Babad
Tawangalun menggunakan metrum macapat yang sama.
Secara garis, penyelamatan naskah kuno di Banyuwangi harus
seiring sejalan antara modernitas dengan tradisi. Bentuk-bentuk tradisi lokal
yang terbukti mampu, tidak hanya menyelamatkan naskah kuno, tapi juga
menghidupkan naskah kuno di tengah-tengah masyarakat harus mendapat dukungan
semua pihak karena merupakan warisan kebudayaan yang tidak ternilai.
(Penulis: Wiwin Indiarti, Dosen dan Peneliti Uniba Banyuwangi, Pembina
Komunitas Mocoan Lontar Yusup Milenial - MLYM)