Aliansi Masyarakat Watukebo Bersatu hearing bersama sejumlah pihak di Gedung DPRD Banyuwangi. (Foto: Fattahur)
KabarBanyuwangi.co.id – Tanah makam di Dusun Krajan, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, kini tengah menjadi sengketa antara warga dengan yayasan pendidikan di wilayah itu.
Sengketa ini bermula dari terbitnya sertifikat wakaf atas nama yayasan pada akhir 2024. Warga yang merupakan ahli waris dari ribuan makam yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, merasa keberatan.
Dalam buku kerawangan desa, luas lahan makam seharusnya
2.562 meter persegi. Namun dalam sertifikat yang terbit, berkurang menjadi
1.649 meter persegi. Hal ini menimbulkan dugaan adanya perubahan batas dan
pemanfaatan tanah secara tidak sah.
Klaim yayasan atas tanah makam itu kemudian dipersoalkan
warga. Bahkan mereka sampai wadul dewan, termasuk menunjuk kuasa hukum dan
konsultasi ke Kejaksaan.
Sewaktu rapat dengar pendapat bersama Komisi I DPRD
Banyuwangi pada Selasa (29/4/2025), berlangsung selama dua jam dalam suasana
yang cukup panas.
Sejumlah pihak hadir dalam forum tersebut, termasuk
perwakilan warga dari Aliansi Masyarakat Watukebo Bersatu, Kepala Desa
Watukebo, Camat Blimbingsari, perwakilan BPN, beberapa OPD, Kemenag, serta
pihak yayasan.
Namun hingga rapat berakhir, belum ada solusi yang
disepakati. Komisi I DPRD merekomendasikan agar dilakukan mediasi lanjutan di
tingkat desa.
"Karena buntu kami merekomendasikan untuk dilakukan
mediasi lagi di Desa Watukebo dan waktunya menunggu dari pak Camat. Mediasi
lanjutan ini wajib dilakukan," kata Ketua Komisi I DPRD, Marifatul Kamila.
Jika mediasi lanjutan itu tidak dilakukan, Komisi I
memberi opsi peninjauan ulang keabsahan sertifikat wakaf atas nama Yayasan
Pendidikan Islam dan Sosial Darul Aitam Al Aziz yang dipersoalkan tersebut.
Dari hasil rapat dengar pendapat, DPRD mulai merunut akar
permasalahan. Berdasarkan keterangan kepala desa dan data dalam buku
kerawangan, lahan seluas 2.562 meter persegi itu tercatat sebagai tanah makam
milik desa.
"Bunyi pada kerawangan yang itu adalah dari BPN,
bunyinya adalah tanah makam," terang Rifa.
Namun, persoalan mencuat ketika tanah tersebut tiba-tiba
diklaim atas nama pribadi dan kemudian diwakafkan ke yayasan hingga terbit
sertifikat. Kejanggalan itulah yang menurut DPRD harus ditelusuri.
Kuasa hukum Forum Masyarakat Watukebo, Abdul Hafidz
menegaskan, sertifikat wakaf Nomor 00037 harus dibatalkan karena dinilai tidak
memiliki dasar hukum yang jelas.
"Atau opsi lainnya adalah sertifikat dialihkan, bukan lagi milik yayasan tapi menjadi milik takmir masjid Watukebo. Dikelola lagi oleh masyarakat. Kalau masih buntu, kami akan bawa persoalan ini ke ranah hukum. Kami menduga ada permainan mafia tanah dan itu juga yang kami laporkan," tegasnya.
Aliansi
Masyarakat Watukebo Bersatu didampingi kuasa hukum konsultasi ke Kejaksaan
Negeri Banyuwangi. (Foto: Fattahur)
Menanggapi tudingan tersebut, perwakilan yayasan, Ahmad Nur Roni Khoiron menyatakan, pihaknya memiliki dasar hukum yang sah atas terbitnya sertifikat. Ia mengaku siap mengikuti prosedur yang ada bahkan ketika harus ke ranah hukum. "Kami siap mengikuti prosedur yang ada," terang Nur Roni dalam rapat dengar pendapat.
Sehari pasca rapat dengar pendapat atau hearing, sejumlah
warga Desa Watukebo konsultasi terkait polemik ini ke Kejaksaan Negeri (Kejari)
Banyuwangi, Rabu (30/4/2025).
"Kita konsultasi ke Kejaksaan untuk mematangkan
konstruksi hukum, sehingga jika kita membuat laporan tidak hanya sekedar
laporan saja," ujar Kuasa Hukum Warga Watukebo, Budi Kurniawan Sumarsono.
Sekertaris Aliansi Masyarakat Watukebo Bersatu, Hendra
Heri Saputra berujar, pihaknya bergerak demi masyarakat. "Kita hanya ingin
memgembalikan tanah makam tersebut untuk kepentingan masyarakat umum,"
tegasnya.
Terpisah, Kasi Intelijen Kejari Banyuwangi, Rizky Septa Kurniandhi mengaku masih akan mempelajari berkas yang dikirimkan oleh warga. Karena saat ini dirinya masih ada kegiatan di luar kota. "Nanti kita akan pelajari dulu, saat ini belum bisa memberikan keterangan apapun," jawabnya singkat. (fat)