(Foto: humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Hubungan harmonis antara budaya dan
agama di Kabupaten Banyuwangi mendapat apresiasi banyak kalangan. Di antaranya
dari para tokoh dan akademisi nasional dalam rangkaian kegiatan Ngaji Manuskrip
Kuno Nusantara (Ngariksa) di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Jumat malam
(22/9/2023).
“Nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang di banyak tempat
kerap kali mengalami ketegangan yang berkepanjangan, justru di Banyuwangi mampu
didialogkan dan diharmonikan dengan baik. Ini patut menjadi contoh bagi Indonesia,”
ungkap Penasehat Ngariksa Lukman Hakim Syaifuddin.
Menteri Agama periode 2014-2019 itu mencontohkan pagelaran
Gandrung Sewu yang setiap tahun dihelat di Banyuwangi. Sebagai praktik
kebudayaan, seringkali diperhadapkan dengan agama. Namun, di Banyuwangi bisa
berjalan harmonis. Riak-riak yang muncul didialogkan dengan baik.
“Saya kira ini adalah bentuk moderasi beragama yang telah
terejawantah dengan baik. Tentu saja, ini berkat kesadaran kolektif
masyarakatnya sekaligus adanya orkestrasi yang baik dari pemerintah daerahnya,”
imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Oman Fathurrahman.
Sebagai pengampu Ngariksa, ia melihat harmoni keagamaan dan kebudayaan di
Banyuwangi jauh lebih dalam di sejumlah manuskrip kuno di Banyuwangi. Seperti
halnya di Lontar Yusup, Babad Tawangalun hingga teks-teks tasawuf yang
ditemukan di ujung timur Jawa ini.
“Dari manuskrip-manuskrip ini kita bisa melihat bagaimana
sebenarnya praktik moderasi beragama di Banyuwangi ini bisa terbentuk,” ungkap
guru besar filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Salah satu naskah tersebut, lanjut Oman, adalah Bahrul
Musyahadah. Naskah tasawuf beraliran Syatariyah tersebut memberikan legitimasi
religius bagaimana memandang liyan. Apa yang ada di dunia ini sejatinya adalah
reprentasi dari kehendak Tuhan.
“Dari sini, akhirnya muncul rasa saling menghargai. Tidak
lantas saling menyalahkan dan menimbulkan permusuhan,” ungkapnya.
Sementara itu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani
mengungkapkan bahwa keagamaan dan kebudayaan merupakan modal besar bagi
Banyuwangi. Dua hal tersebut tak bisa diabaikan dalam derap pembangunan.
“Saat ini kami berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
dan pelayan. Kami mengadaptasi teknologi, menerapkan digitalisasi dan
sebagainya. Namun, nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan menjadi nilai dasar
dalam melandasi pembangunan tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ipuk mengapresiasi upaya dialogis dalam
memperkuat praktik keagamaan dan kebudayaan. Menurutnya dua entitas tersebut,
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. “Dalam agama ada praktik
budayanya, sedangkan dalam budaya juga ada nilai-nilai spiritualitasnya. Ini
harus selaras. Tidak untuk dibentur-benturkan,” tegasnya.
Acara yang merupakan edisi khusus Ngariksa episode 100 itu, juga menggelar Sarasehan Agamawan dan Budayawan. Hadir sejumlah pegiat budaya, tokoh agama hingga para akademisi. Selain Lukman Hakim Syaifuddin dan Oman Fathurrahman, juga hadir Rektor UIN KHAS Jember Prof. Babun Soeharto, Wakil Sekretaris PBNU Dr. Ginanjar Syaban, Direktur Center of Reform on Economic Dr. Hendri Saparini, serta sejumlah tokoh dan budayawan Banyuwangi. (humas/kab/bwi)