
Ghifary Rexianda Davisto berziarah ke makam buyutnya, Mbah Aspiyo, di Taman Makam Pahlawan Banyuwangi pada Kamis (6/11/2025). (Foto: Istimewa)
KabarBanyuwangi.co.id – Suasana khidmat terasa di Taman
Makam Pahlawan Banyuwangi, saat Ghifary Rexianda Davisto melakukan ziarah ke
makam buyutnya, Mbah Aspiyo, pada Kamis (6/11/2025) dalam rangka peringatan
Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November.
Sosok muda yang kini menjabat sebagai Ketua BRIMMAN
sekaligus Ketua Badan Persaudaraan AntarIman (BERANI) DPC Kota Surabaya itu
tampak khusyuk menundukkan kepala, mengenang perjuangan sang leluhur yang gugur
demi kemerdekaan bangsa.
Diketahui, Mbah Aspiyo lahir di Puger, Jember, pada tahun
1901. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok yang kuat, berani, dan memiliki
semangat juang tinggi. Meski lahir di Jember, hampir seluruh perjuangan
hidupnya berlangsung di Banyuwangi.
Diceritakan oleh salah satu cicitnya, Kunsusiyah, pada masa
agresi militer Belanda tahun 1947, Mbah Aspiyo bersama rekan-rekannya berjuang
mempertahankan kemerdekaan dari serangan pasukan kolonial. Ketika markas
perjuangan di Rogojampi diserang habis-habisan, Mbah Aspiyo menjadikan rumahnya
sebagai markas baru.
Namun, lokasi itu akhirnya diketahui oleh Belanda yang
kemudian membakar rumah dan lumbung padinya. Kondisi itu memaksa para pejuang
berpencar.
Mbah Aspiyo bersama beberapa rekannya bersembunyi di hutan
Pancur, kawasan yang kini dikenal sebagai Alas Purwo. Sayangnya, persembunyian
itu juga akhirnya terendus oleh Belanda.
Dalam upaya melanjutkan perjuangan, Mbah Aspiyo mencoba
keluar dari Banyuwangi menggunakan kereta, namun tertangkap dan ditembak mati
oleh tentara Belanda.
Jenazahnya sempat dimakamkan di Kalipahit, kemudian
dipindahkan ke Tegaldlimo, dan pada tahun 1960 akhirnya dimakamkan secara
terhormat di Taman Makam Pahlawan Banyuwangi.
Bangga Sekaligus Merasa Bertanggung Jawab
Sebagai cicit dari seorang pejuang kemerdekaan, Ghifary
mengaku bangga sekaligus merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga
nama baik leluhurnya.
“Saya bangga menjadi keturunan pahlawan, tapi di sisi lain
ini juga beban. Kalau saya tidak bisa seperti beliau yang berjuang demi bangsa,
maka nama beliau bisa tercoreng,” ungkap Ghifary.
Ia menambahkan, keturunan seorang pahlawan bukan jaminan
akan kemuliaan. Menurutnya, kemuliaan justru lahir dari amal, perjuangan, dan
ketulusan seseorang dalam berbuat kebaikan.
“Kita tidak bisa memilih lahir dari siapa, tapi kita bisa
memilih akan menjadi pejuang atau perusak negeri ini,” tegasnya.
Pesan dari Sejarah untuk Generasi Muda
Ghifary juga mengingatkan pentingnya meneladani semangat
juang para pahlawan di tengah tantangan zaman modern.
Mengutip pesan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai jasa para pahlawannya,” ia mengajak masyarakat untuk tidak
melupakan pengorbanan para pejuang kemerdekaan.
“Kebesaran manusia bukan diukur dari kekayaan atau jabatan, tapi dari karakter dan kebaikan,” ujar Ghifary menutup ziarahnya di makam sang buyut. (*)