Berada di tepian Pasir Putih Tahun 1977. (Foto: Dok. Pribandi Bambang Sutejo)
KabarBanyuwangi.co.id - Sore hari menjelang magrib, kami mulai memasuki hutan jati Baluran yang dikelola Perum Perhutani. Meski matahari masih nampak, tapi langit semakin memerah. Ketika hari mulai gelap, jalan mulai tidak begitu terlihat. Maklum sepanjang jalan di hutan tidak ada lampu penerangan jalan.
Naaah, disaat kami sedang berjalan merambat di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. Ternyata ban sepeda milik Puguh meletus dan gembos seketika. Akhirnya kami terpaksa jalan kaki dengan menuntun sepeda di tengah kegelapan.
Teman-teman saling bertanya pada Puguh, apa tidak bawa
peralatan tambal ban dan pompa. Puguh menjawab... ”Ada...tapi kita tidak bisa
nambal (ban), karena tidak ada lampu penerangan, termasuk senter juga tidak
siap. Kita tidak siap untuk jalan malam,” katanya.
Baru pada sekitar pukul 18.30 WIB di tengah hutan, ada
tukang tambal ban. Mereka adalah kelompok masyarakat yang menjadi magersaren
(kelompok masyarakat desa hutan) atau mitra Perhutani yang diberi kelonggaran
menempati kawasan hutan Perhutani, asal ikut memelihara tanaman dan keamanan
hutan.
Setengah jam kemudian, nambal ban selesai. Tapi muncul
masalah baru. Karena kami tidak membawa lampu penerangan (jalan), termasuk
senter, akhirnya kami berjalan di tengah kegelapan dengan meraba-raba. Setiap
ada mobil atau truk liwat, kami bisa jalan lebih cepat karena jalan terlihat.
Namun, saat jalan dalam gelap itu, kami sedikit terbantu
ketika aku yang berjalan di depan mendongak keatas. Langit terlihat terang.
Ternyata saat itu sedang terang bulan.
Naaah, langit yang terlihat cukup terang tadi disebabkan
karena ujung mahkota daun asam yang tumbuh berderet di kiri kanan jalan sebagai
tanaman pelindung jalan tidak tempuk, atau menangkup satu dengan lainnya.
Akhirnya tanpa kami sadari, ujung mahkota daun asam tadi
menjadi petunjuk jalan di tengah kegelapan. Akhirnya aku mengambil inisiatif
lebih berani, yakni jalan mendongak ke atas langit dan mengikuti ujung
pertemuan mahkota daun asam yang terlihat terang. “Ya karena ujung daun asam yang tempuk tadi adalah
persis tengah jalan (as jalan),” kataku meyakinkan teman-teman.
Dari situ akhirnya teman-teman mengikutiku, yaitu naik
sepeda dengan mendongak ke langit, dengan cara itu kami bisa berjalan lebih
cepat. Secara kebetulan, saat itu jalan mulai agak menurun.
Budi dan Rudi yang memiliki tenaga ekstra, kemudian
mengambil inisiatif menyalip aku sehingga mereka berdua berada di depanku.
Sedang Puguh tetap berada di belakangku.
Namun, belum lama kami menikmati kegembiraan bisa jalan
dalam kegelapan, tiba-tiba temanku Budi Sucahyo, jatuh keparit sedalam satu
meteran. Rudi yang ada didepanku, juga sudah turun dari aspal meski tidak
sampai jatuh ke parit.
Topi Budi hilang, arloji lepas tapi tidak sampai hilang dan
ruji sepeda dia putus 14 buah. Sementara Puguh yang berada di belakangku, tidak
langsung menolong Budi tapi berteriak “Tejo lihat arlojimu, jam berapa Budi
jatuh. Jangan lupa dicatat ya,” kata Puguh. “Iya tapi Budi ditolong dulu,” jawabku.
Puguh dalam perjalanan ini ,memang bagian mencatat setiap
kejadian yang terjadi. Sehingga begitu ada kejadian Budi jatuh ke parit, yang
diingat adalah jam berapa kejadiannya.
Setelah Budi berhasil diangkat dari parit, dia mengatakan, tadi matanya silau kena sorot lampu mobil truk yang berpapasan dengannya. Ternyata jalannya juga berbelok. “Mataku tadi silau kena lampu truk tadi. Aku kira jalannya lurus, ternyata belok (nganan),” katanya. (Bersambung)
(Penulis: Bambang Sutejo, mantan Wartawan Bisnis Indonesia
asal Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi. Sekarang tinggal di Kota
Malang)