(Foto: Humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Pemkab Banyuwangi bakal memasifkan penerapan pembelajaran responsif gender untuk membangun kesadaran kesetaraan gender sejak dini. Para kepala TK, SD, dan SMP dari tiga kecamatan memulai workshop pembelajaran responsif gender.
”Tahap awal, kepala TK, SD, dan SMP di wilayah Kecamatan Blimbingsari, Muncar, dan Srono sudah mengikuti workshop beberapa waktu lalu. Bergiliran ke kecamatan lainnya. Kepala sekolah bertanggung jawab mewujudkan pembelajaran responsif gender,” ujar Ipuk, Senin (17/5/2021).
Ipuk mengatakan, pembelajaran
responsif gender penting diterapkan untuk membangun paradigma kesetaraan gender
di kalangan generasi muda. Selama ini, pandangan bias gender masih sangat
mengemuka di masyarakat, yang sebagian besar merugikan kaum perempuan.
”Contoh kecilnya, misalnya siswi
SMP atau SMA dibully, anak perempuan kok enggak bisa masak, ini pandangan bias
gender yang menempatkan perempuan hanya di ranah domestik,” ujarnya.
Contoh lainnya, sambung Ipuk, di
sekolah kerap ditemui ungkapan “sudah jangan nangis, anak laki-laki tidak boleh
cengeng” atau “jadi anak perempuan yang lembut, jangan teriak-teriak”.
“Tanpa sadar, ketika bikin
kelompok, nama kelompok pelajar perempuan selalu nama bunga, sedang laki-laki
nama hewan misalnya. Ini paradigma bias gender yang tertanam lama,” beber Ipuk.
”Para kepala sekolah harus
menjadikan sekolahnya responsif gender, mengakomodasi kepentingan pelajar laki
laki dan perempuan secara seimbang dari aspek akses, partisipasi, dan manfaat.
Kepala sekolah bertanggung jawab mendorong ini kepada guru, yang nantinya
menjalar ke murid-murid,” imbuhnya.
Ipuk menambahkan, paradigma bias gender
sebagian besar merugikan kaum perempuan. Kekerasan hingga kemiskinan yang
dialami perempuan selalu lebih buruk.
”Banyak riset bilang, rumah tangga
yang dikepalai perempuan memiliki kondisi hidup lebih buruk dibanding yang
dikepalai laki-laki,” ujar Ipuk.
“Ini bukan soal kesalahan perempuan, tapi ini hasil dari konstruksi bias gender dalam keseharian yang kemudian membuat perempuan memiliki akses lebih terbatas kepada pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik, ujung-ujungnya ini berakibat ke kemiskinan,” imbuhnya.
Keterangan Gambar : (Foto: Humas/kab/bwi)
Sementara itu, pegiat pendidikan
yang mengisi workshop pembelajaran responsif gender, Dr Nur Wiarsih,
mengatakan, pembelajaran responsif gender bertujuan membangun pola relasi
sosial yang lebih baik di antara semua pelajar, baik laki-laki maupun perempuan.
Termasuk untuk menghindari
kekerasan terhadap pelajar perempuan, baik secara fisik maupun verbal. Beberapa
hal yang dapat dilakukan oleh sekolah antara lain dari sisi kebijakan dengan
membuat pemetaan kelompok pelajar rentan dari faktor ekonomi dan sosial lalu
memberikan dukungan, perlindungan, advokasi terhadap warga sekolah agar tidak
terjadi kekerasan.
”Dan apabila sudah terjadi dapat
mencarikan jalan keluar, memastikan layanan pendidikan diperoleh semua anak,
termasuk korban,” ujar doktor ilmu pendidikan dari Universitas Negeri
Yogyakarta itu.
Dari sisi lingkungan sekolah, baik
fisik maupun psikis, harus menjamin pengembangan potensi bagi pelajar laki-laki
dan perempuan.
”Misal memperhatikan jumlah kamar
mandi bagi anak perempuan dan laki-laki, persentasenya diatur karena kebutuhan
penggunaan yang berbeda, menghindari perundungan,” jelas anggota Dewan
Pendidikan Banyuwangi tersebut.
Dari sisi proses pembelajaran,
sambung Nur Wiarsih, guru dapat menyediakan berbagai aktivitas resposnsif gender,
misalnya berbagai kegiatan life skills, latihan dasar kepemimpinan, dan
aktivitas sosial lain yang dapat membantu pelajar laki-laki maupun perempuan
saling menghargai sebagai sesama manusia
”Dalam materi pembelajaran, guru harus menghindari contoh-contoh yang bias gender,” pungkasnya. (Humas/kab/bwi)