(Foto: Humas/kab/bwi)
KabarBanyuwangi.co.id - Banyuwangi telah dikenal menjadi salah satu sentra penghasil buah naga. Banyak desa di Banyuwangi menjadi penghasil buah naga, salah satunya di Desa Bulurejo, Kecamatan Purwoharjo.
Kini, bekerja sama dengan salah satu BUMN Pupuk Indonesia, desa itu ditetapkan sebagai Kampung Naga Phonska Plus, yang diresmikan oleh Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani bersama Direktur Produksi PT. Pupuk Indonesia (Persero) Bob Indiarto, Jumat (24/9/2021) malam.
Kampung Naga Phonska Plus terletak
di Desa Bulurejo, Kecamatan Purwoharjo. Luas lahan buah naga di kampung ini
mencapai 700 hektare dengan jumlah petani ratusan orang.
Disebut Kampung Naga lantaran
hampir semua petani di desa ini kini menanam buah naga. Mereka juga telah
menerapkan teknik penyinaran menggunakan lampu di malam hari atau dikenal
inovasi Puting Si Naga (Penggunaan Lampu Tingkatkan Produksi Buah Naga).
Inovasi ini telah masuk TOP 45 Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dam Reformasi Birokrasi.
Menandai peresmian Kampung Naga
tersebut digelar panen Buah Naga dan Talkshow Hybrid. Talkshow digelar di
tengah hamparan kebun buah naga, dan disiarkan secara nasional dengan diikuti
sejumlah petani di 24 daerah se-Indonesia.
Dalam talk show tersebut, Ipuk mendorong petani buah naga melakukan hilirisasi pertanian dengan mengolah komoditas yang dihasilkan. Melalui hilirisasi, petani akan mendapat tambahan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.
Menurut Ipuk, buah naga merupakan salah satu komoditas unggulan Banyuwangi yang produksinya melimpah hampir mencapai 83.000 ton per tahun. Bahkan, dengan inovasi penggunaan lampu untuk penyinarannya, buah naga petani Banyuwangi mampu berproduksi sepanjang tahun di luar musim atau off season. Saat di luar musim, harganya relatif tinggi dibanding ketika panen raya,
“Melihat tingginya produksi buah naga, maka kita harus melakukan hilirisasinya. Petani kita dorong agar tidak hanya menjual komoditasnya, melainkan juga produk hilirnya," kata Ipuk.
"Misalnya, diolah jadi mie, dodol, buah kering, keripik, minuman, atau produk olahan lainnya, sehingga petani bisa mendapatkan nilai tambah untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Dinas terkait akan membantu pemasarannya,” imbuh Ipuk.
(Foto: Humas/kab/bwi)
Berdasarkan Data Dinas Pertanian
dan Pangan, luas tanaman buah naga di Kabupaten Banyuwangi mencapai 3.786
hektare, dengan produktivitas sebesar 82.544 ton per tahun. Jumlah tersebut
sekaligus mengukuhkan Banyuwangi, sebagai penghasil buah naga terbesar di
Indonesia.
Salah satu petani, Edi Lusi,
mengatakan dengan teknik penyinaran tersebut tanaman buah naganya bisa panen
sepanjang tahun, bahkan di luar musim (off season).
“Buah naga bisa berbuah sepanjang
tahun, dan bisa panen setiap bulan. Jadi bertani buah naga sekarang itu senang
terus. Apalagi kalau panen di luar musim, harganya bisa tinggi,” kata ketua
paguyuban petani buah naga Banyuwangi (Panaba).
Selain memperpanjang masa produksi
dengan penyinaran lampu di malam hari, Edi dan petani buah naga lainnya terus
berinovasi meningkatkan kualitas produksi tanaman buah naganya. Memadukan
teknik perawatan dan pemupukan yang berimbang, kini produksi buah naga Edi bisa
mencapai bobot 1 kg per buah.
“Alhamdulillah, yang awalnya bobot
per biji hanya 0,5 kg, sekarang bisa 1 kg bahkan ada yang lebih. Kami
memaksimalkan pemberian pupuk NPK Phonska Plus secara tepat dan presisi,” kata
Edi.
Edi mengaku, menggunakan pupuk NPK
Phonska Plus dari Pupuk Indonesia ini banyak kelebihannya. Dulu produktivitas
panen sebesar 1-1,5 ton per hektare, kini meningkat menjadi 3-4 ton per
hektare.
“Pakai Phonska tanaman lebih stabil. Saat pembungaan, bunga tidak mudah rontok sehingga produksi buahnya terjaga,” kata Edi.
Sementara Direktur Produksi PT. Pupuk Indonesia (Persero) Bob Indiarto menjelaskan, pihaknya siap mendukung pengembangan pertanian Indonesia, termasuk di Banyuwangi. Salah satunya, dengan meresmikan Kampung Naga Phonska Plus ini.
(Foto: Humas/kab/bwi)
Pupuk Indonesia juga memiliki
berbagai program yang medukung regenerasi petani yang sinergis dengan program
Banyuwangi. Misalnya, Agrosociopreneurship, program inovasi dan motivasi sektor
pertanian yang melibatkan anak-anak muda, dan masih banyak lainnya.
“Ini sinergis dengan program Jagoan
Tani Banyuwangi yang mendorong adanya regenerasi petani. Kita mengajak para
milenial untuk mau terjun ke bisnis pertanian,” kata Bob.
Bob menyebut, berdasarkan Sensus
Pertanian nasional hanya ada 12 persen petani berusia di bawah 35 tahun. Adapun
jumlah petani berusia di atas 45 tahun mencapai 61,8 persen. “Maka mengajak
anak muda terjun ke bisnis pertanian itu sebuah tantangan,” ujarnya.
Banyuwangi sendiri memiliki program
Jagoan Tani yang mendorong anak muda agar mau terjun ke bisnis sektor pertanian
dan segala subsektornya. Jagoan Tani merupakan program terintegrasi, bukan
hanya ide atau rintisan bisnis pertanian dikompetisikan, tapi juga ada
mentoringnya, dikoneksikan dengan perbankan, dan diberi hadiah modal ratusan
juta.
"Banyuwangi juga memilki program fasilitasi ijin (PIRT). Ini bisa dimanfaatkan dalam pelaksanaan hilirisasi nanti. Jika sudah membuat produk olahan, dinas terkait akan membantu pengurusan ijin dan pemasarannya," kata Ipuk. (Humas/kab/bwi)