Suasana Launching Buku Angklung: Tabung Musik Blambangan. (Foto: Dok. Artevac)
KabarBanyuwangi.co.id - Meskipun Elvin tidak membahas bagaimana harusnya kita menempatkan angklung dalam kerangka besar “budaya bambu”--segala bentuk kearifan lokal terkait bambu dan segala pernik budaya material berbahan bambu--yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi geografis Banyuwangi.
Kalau budaya diposisikan sebagai respons terhadap kehidupan dan kondisi lingkungan, maka kita bisa mengatakan bahwa angklung merupakan karya kultural yang lahir dalam tradisi agraris di tengah-tengah kemelimpahan bambu.
Itulah mengapa angklung paglak--menjadi momen relaksasi di
pinggir sawah atau di depan rumah dengan menempatkan bambu tidak hanya sebagai
tabung-tabung musikal, tetapi juga tiang penyangga paglak, selain sebagai bahan
material rumah.
Keterhubungan manusia dengan bambu adalah wujud relasi ekologis-kultural
yang menempatkan manusia pada poros pengguna yang sudah semestinya juga menjadi
poros pelestari. Artinya, kita sejatinya tidak harus memisahkan “yang kultural”
dan “yang ekologis” karena keduanya bisa mengisi dan mendinamisasi kehidupan
manusia dan masyarakat.
Apa yang perlu dilakukan kemudian adalah merevitalisasi
tema garapan musik dan tembang dalam angklung Banyuwangi. Tentu kita perlu
membaca-kembali perjalanan dan catatan kreatif para seniman masa lalu yang
mendedikasikan pikiran dan batin mereka untuk menciptakan karya yang mampu
menembus struktur perasaan warga, memaknai permasalahan hidup, dan menyatu
dalam ritme alam yang menarik.
Kita tidak perlu takut dikatakan larut dalam nostalgia masa
lalu. Kalau masa lalu bagus dan bisa ditransformasi ke dalam masa kini, kenapa
tidak? Kepekaan tematik dalam tembang bisa diarahkan kepada beragam
permasalahan yang dihadapi masyarakat Using ataupun masyarakat Banyuwangi
secara umum dari bermacam etnis.
Tidak harus selalu masalah yang besar, tetapi bisa
berangkat dari masalah-masalah kecil dari keluarga, tetangga, sekolah, kantor,
dan yang lain. Yang tidak kalah pentingnya adalah penyikapan kritis-kreatif
terhadap masalah-masalah penggusuran lahan petani, pertambangan, dan pariwisata
yang berpotensi merugikan rakyat kebanyakan. Bukankah itu hakekat angklung
sebagai kesenian proletar?
Keterangan Gambar : Pemain
Angklung nsenior Asal Pasinan Singojuruh (Foto: Dok. Adlin Mustika)
Keterlibatan tematik terhadap isu-isu kerakyatan dan
lingkungan, setidaknya, bisa menjadikan angklung sebagai subjek yang
merepresentasikan tanggung jawab ekologis-kultural. Tanggung jawab ini,
anggaplah bisa ditempatkan sebagai ‘misi profetik’ para seniman angklung dalam
menghadapi bermacam permasalahan serta dalam menempatkan diri mereka untuk
kembali peka dengan garapan kreatif.
Jadi, kombinasi estetik antara keberanian inovatif untuk
mentransformasi angklung ke dalam gaya atau performance aktual dan revitalisasi
tema bisa diharapkan menjadi starting point untuk terus membawa kesenian ini ke
dalam medan dan perjuangan hidup manusia-manusia keturunan Blambangan secara
asyik dan dinamis.
Keberanian untuk mengambil sikap dalam berkarya bukanlah
bentuk politik praktis, tetapi keberpihakan politis dalam konteks perjuangan
kemanusiaan, kerakyatan, dan ekologis. Dalam demikian, angklung Banyuwangi bisa
ditempatkan sebagai kesenian ekologis (ecological art)yang berdaya-guna. (Bersambung)
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik
identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)