ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas, dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (6)Menangkap Pesan Bambu: Tanggung Jawab Ekologis-Kultural

ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas, dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (6)

Suasana Launching Buku Angklung: Tabung Musik Blambangan. (Foto: Dok. Artevac)

KabarBanyuwangi.co.id - Meskipun Elvin tidak membahas bagaimana harusnya kita menempatkan angklung dalam kerangka besar “budaya bambu”--segala bentuk kearifan lokal terkait bambu dan segala pernik budaya material berbahan bambu--yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi geografis Banyuwangi.

Kalau budaya diposisikan sebagai respons terhadap kehidupan dan kondisi lingkungan, maka kita bisa mengatakan bahwa angklung merupakan karya kultural yang lahir dalam tradisi agraris di tengah-tengah kemelimpahan bambu.

Itulah mengapa angklung paglak--menjadi momen relaksasi di pinggir sawah atau di depan rumah dengan menempatkan bambu tidak hanya sebagai tabung-tabung musikal, tetapi juga tiang penyangga paglak, selain sebagai bahan material rumah.

Baca Juga :

Keterhubungan manusia dengan bambu adalah wujud relasi ekologis-kultural yang menempatkan manusia pada poros pengguna yang sudah semestinya juga menjadi poros pelestari. Artinya, kita sejatinya tidak harus memisahkan “yang kultural” dan “yang ekologis” karena keduanya bisa mengisi dan mendinamisasi kehidupan manusia dan masyarakat.

Apa yang perlu dilakukan kemudian adalah merevitalisasi tema garapan musik dan tembang dalam angklung Banyuwangi. Tentu kita perlu membaca-kembali perjalanan dan catatan kreatif para seniman masa lalu yang mendedikasikan pikiran dan batin mereka untuk menciptakan karya yang mampu menembus struktur perasaan warga, memaknai permasalahan hidup, dan menyatu dalam ritme alam yang menarik.

Kita tidak perlu takut dikatakan larut dalam nostalgia masa lalu. Kalau masa lalu bagus dan bisa ditransformasi ke dalam masa kini, kenapa tidak? Kepekaan tematik dalam tembang bisa diarahkan kepada beragam permasalahan yang dihadapi masyarakat Using ataupun masyarakat Banyuwangi secara umum dari bermacam etnis.

Tidak harus selalu masalah yang besar, tetapi bisa berangkat dari masalah-masalah kecil dari keluarga, tetangga, sekolah, kantor, dan yang lain. Yang tidak kalah pentingnya adalah penyikapan kritis-kreatif terhadap masalah-masalah penggusuran lahan petani, pertambangan, dan pariwisata yang berpotensi merugikan rakyat kebanyakan. Bukankah itu hakekat angklung sebagai kesenian proletar?


Keterangan Gambar : Pemain Angklung nsenior Asal Pasinan Singojuruh (Foto: Dok. Adlin Mustika)

Keterlibatan tematik terhadap isu-isu kerakyatan dan lingkungan, setidaknya, bisa menjadikan angklung sebagai subjek yang merepresentasikan tanggung jawab ekologis-kultural. Tanggung jawab ini, anggaplah bisa ditempatkan sebagai ‘misi profetik’ para seniman angklung dalam menghadapi bermacam permasalahan serta dalam menempatkan diri mereka untuk kembali peka dengan garapan kreatif.

Jadi, kombinasi estetik antara keberanian inovatif untuk mentransformasi angklung ke dalam gaya atau performance aktual dan revitalisasi tema bisa diharapkan menjadi starting point untuk terus membawa kesenian ini ke dalam medan dan perjuangan hidup manusia-manusia keturunan Blambangan secara asyik dan dinamis.

Keberanian untuk mengambil sikap dalam berkarya bukanlah bentuk politik praktis, tetapi keberpihakan politis dalam konteks perjuangan kemanusiaan, kerakyatan, dan ekologis. Dalam demikian, angklung Banyuwangi bisa ditempatkan sebagai kesenian ekologis (ecological art)yang berdaya-guna. (Bersambung)

(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)