Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) Banyuwangi, Benny Hendricrianto. (Foto: Istimewa)
KabarBanyuwangi.co.id - Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) Banyuwangi, Benny Hendricrianto memastikan puluhan perkebunan yang sudah miliki izin resmi ada sekitar 35, diantaranya 12 perkebunan di bawah naungan PTPN XII, dan 23 perkebunan dikelola oleh swasta.
"HGU adalah dasar, orang atau perusahaan untuk mengelola sumber daya di atas tanah negara. Sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan secara resmi, seluruh perkebunan yang masuk sebagai anggota GPP Banyuwangi sudah dipastikan memiliki izin resmi," kata Benny kepada wartawan, Selasa (25/1/2022).
Pemegang HGU, kata Benny, bisa menjadi dasar untuk
mengelola sumber daya yang ada di atas tanah negara, dalam jangka waktu
tertentu yang digunakan untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.
Dalam kepengurusannya, setiap HGU memiliki perbedaan atau
bisa jadi ada bentuk kesamaan. Baik itu lama penguasaan lahan maupun luasan
lahan yang bisa dikelola. "Untuk HGU berlaku selama 25 tahun dan bisa
diperpanjang lagi apabila masanya habis," terangnya.
Sementara itu, Kepala BPN Banyuwangi, Budiono menerangkan,
suatu perusahaan yang hendak mengelola lahan milik negara harus memiliki HGU
lebih dulu. Tentunya sebelum perusahaan itu berdiri atau menempati lahan
Negara.
"Pastinya seluruh perkebunan sudah memiliki HGU resmi
yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan
Pertanahan Nasional (BPN)," tegasnya.
Kepala BPN Banyuwangi, Budiono. (Foto: Istimewa)
Menurutnya, sebuah perusahaan perkebunan tentunya tidak
akan berani menempati lahan negara tanpa izin. Karena apabila menyalahi aturan
dengan menguasai lahan negara, maka akan dikenakan pidana.
"Tentunya setiap perkebunan memiliki HGU dengan luasan
lahan sesuai ukurannya masing-masing, sesuai luasan lahan yang sudah tercantum
terang pada HGU mereka," terangnya.
Budiono menerangkan, untuk mendapatkan HGU sendiri, ada
beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama adalah menentukan lokasi lahan
disambung dengan pengurusan izin lokasi, setelah itu melakukan pembebasan lahan
dengan catatan jika ada masyarakat harus melakukan ganti rugi.
"Setelah selesai, maka persyaratan tersebut bisa
dimohonkan kepada BPN setempat, dengan memenuhi beberapa syarat berupa amdal,
status perpajakan diselesaikan atau dibayar dan kembali dilaporkan kepada BPN
setempat," paparnya.
Jika dokumennya sudah lengkap, maka BPN akan membentuk
panitia yang terdiri dari pemerintah daerah dan otoritas pertanahan nasional
yang bertugas melakukan pengecekan lapangan, tapal batas hingga memeriksa
berkas.
Selain itu, jika berkas lengkap, maka panitia mengeluarkan
risalah yang kemudian akan dibawa ke kantor wilayah (kanwil) BPN untuk proses
penerbitan fatwa risalah tersebut. Risalah ini, nantinya menjadi syarat
pengajuan HGU kepada Menteri ATR.
"Setelah dinyatakan lengkap oleh menteri, maka
dikeluarkan SK HGU. SK HGU dibawa lagi kantor kabupaten, baru disertifikat.
Jadi yang mengeluarkan kepala kantor berdasarkan SK Menteri ATR,"
jelasnya.
Salah satu perkebunan di Kabupaten Banyuwangi. (Foto: Istimewa)
Budiono menambahkan, jika memang dikemudian hari HGU
dipersoalkan oleh masyarakat. Maka, masyarakat harus memahami terlebih dahulu
apa dasar dalam menyoal HGU tersebut.
Dikarenakan, tentunya dalam penerbitan HGU sudah melalui
prosedur yang benar. Sehingga, jika memiliki dasar yang kuat diperbolehkan
untuk mengajukan gugatan atau menguji keabsahannya di Pengadilan.
"Pemerintah tentunya tidak main-main dalam penerbitan
HGU ataupun sertifikat, makanya ketika ada permasalah harus disikapi dengan
bijak," pungkasnya. (fat)