Pekerja Migran Tewas di Kamboja, Migran Care Desak Pemerintah Ambil TindakanMigran Care Banyuwangi

Pekerja Migran Tewas di Kamboja, Migran Care Desak Pemerintah Ambil Tindakan

Ilustrasi. (Foto: freepik.com)

KabarBanyuwangi.co.id - Kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kembali mencuat setelah seorang pekerja migran asal Banyuwangi, dikabarkan meninggal dunia di Kamboja.

Pekerja Migran Indonesia (PMI), Rizal Sampurna (30), warga Lingkungan Sukowidi, Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, diduga menjadi korban eksploitasi kerja paksa dalam jaringan judi online ilegal di luar negeri.

Kepergian Rizal ke Kamboja bermula dari iming-iming pekerjaan bergaji tinggi, yang membuatnya nekat merantau demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.

Baca Juga :

Namun baru empat bulan bekerja, kabar duka datang. Rizal dikabarkan meninggal dunia, namun hingga kini keberadaan dan kondisi jenazahnya masih belum jelas. Kasus ini masih ditangani oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Ketua Migran Care Banyuwangi, Siti Uut Rochimatin mengungkapkan keprihatinannya dengan kasus ini. Ia menyebut kematian Rizal mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan perlindungan pemerintah terhadap warganya yang migrasi ke luar negeri.

"Perlindungan dan sosialisasi migrasi aman masih minim. Warga mudah tergiur karena tidak paham risikonya," kata Uut kepada wartawan, Kamis (17/4/2025).

Menurut Uut, pemerintah Indonesia tidak memiliki perjanjian tenaga kerja dengan negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar. Sehingga dipastikan mereka yang berangkat ke wilayah tersebut lewat jalur ilegal atau unprosedural.

"Mereka dijanjikan bekerja sebagai operator perusahaan, tapi kenyataannya justru dipaksa menjadi scammer. Jika gagal memenuhi target, mereka bisa dihukum, tidak diberi makan dan gaji,” ungkapnya.

Migran Care Banyuwangi mencatat, sejak 2022 telah terjadi beberapa kasus serupa, dan mereka telah mendampingi pemulangan pekerja migran asal Banyuwangi dari Kamboja, termasuk dari wilayah Pesanggaran, Muncar, dan Srono.

Uut menambahkan, para korban umumnya direkrut melalui media sosial, dengan janji kerja mudah dan proses keberangkatan yang cepat. Dalam waktu dua minggu, mereka sudah bisa diterbangkan ke Kamboja, bahkan seringkali tanpa saling mengenal antar calon pekerja.

"Salah satu korban pernah bercerita, dia tau info dari sosmed, kemudian ketemuan di Jajag. Iming-imingnya adalah kerja jadi operator di salah satu perusahaan. Dua minggu langsung berangkat. Tapi setelah sampai justru disekap," jelasnya.

Dua bulan bekerja, korban berhasil melapor akhirnya dibantu pulang melalui Kementerian Luar Negeri. Ketika mengajukan permintaan pulang secara mandiri ke tempatnya bekerja, dia diharuskan membayar denda Rp 60 juta.

Migran Care mendesak agar pemerintah memperkuat kebijakan perlindungan PMI dan menindak tegas jaringan perdagangan orang. Tanpa upaya serius, fenomena ini dikhawatirkan akan terus memakan korban.

"Pemerintah pusat utamanya desa harus lebih ketat mengawasi warganya yang hendak bermigrasi. Perlu penguatan kebijakan, sosilisasi agar tidak semakin banyak korban. Memperbanyak lapangan kerja di dalam negeri juga menjadi solusi agar generasi kita tidak terjebak pada iming-iming yang justru merugikan," tegasnya. (fat)