Persiapan angklung caruk Sekar Tajung Alasmalang dan Sekar Wangi Pasinan. (Foto: Ikwan Setiawan)
KabarBanyuwangi.co.id - Dalam banyak kesempatan saya mengatakan bahwa salah satu kekuatan manusia Using adalah keterbukaan dan kelenturan kreatif dalam mengapropriasi budaya yang berasal dari luar wilayah geografisnya. Apropriasi tersebut, mengikuti pemikiran Bhabha (1994), membawa masuk yang dari luar untuk kemudian diolah secara kreatif sehingga menjadi karya kultural baru yang diakui menjadi kekayaan mereka sendiri.
Angklung merupakan karya estetik hibrid yang mempertemukan dan mendialogkan bermacam alat musik dengan bermacam bahan dan bermacam asal-muasal demi merespons tantangan zaman. Bahola (biola) adalah salah satu alat musik yang menarik untuk dicermati lebih lanjut.
Bahola pada angklung Banyuwangi sama dengan bahola
gandrung, selain berfungsi sebagai yang memimpin gendhing, juga berfungsi dalam
membuat variasi, menunjukkan laras dalam gending, serta sebagai pembuka pada
gending. Bahola peralatan hasil akulturasi yang terakhir bergabung pada
angklung Banyuwangi, sebagai desakan adanya tuntutan panggung. Perkembangan
dunia seni panggung, membutuhkan pemain angklung yang sekaligus bisa mengiringi
tari-tarian berlandaskan gandrung.
Dibandingkan dengan biola diatonik Barat, bahola pada
angklung Banyuwangi memiliki beberapa perbedaan cara memainkannya. Bahola
diletakkan pada dada di atas siku tangan sebelah kiri, tidak dijepit dengan
rahang (chinrest bahola tidak difungsikan). Bahola diletakkan di depan bahu,
agar mudah memiringkan badan bahola ke kanan-kiri, untuk mendapatkan posisi dua
senar yang pas saat digesek.
Pemain bahola Banyuwangi selalu posisi duduk bersimpuh,
tidak berdiri atau duduk di kursi. Pemain bahola Banyuwangi selalu menggesek
dua senar (teknik double stops/ drone) secara bersamaan dalam memainkan garap
lagu, dengan maksud agar menimbulkan suara harmonik atau monofonik yang
membentuk sebuah akord yang terus berjalan. (Hendratha, 2021: 12-13)
Keterangan Gambar : Gelaran
angklung caruk antara angklung Alasmalang dan Pasinan, Singojuruh. (Foto: Dok.
Ikwan Setiawan)
Saya sengaja mengutip agak panjang paparan tentang bahola.
Tampak sepele, jelas. Namun, dari yang tampak sepele itulah kita bisa
mengetahui dunia yang begitu terbuka dan lentur dari manusia-manusia Blambangan
dalam memosisikan dan memaknai subjektivitas mereka. Alat musik yang berasal
dari Barat, biola, dibawa masuk ke dalam dunia lokal, ke dalam gandrung dan,
selanjutnya, ke dalam angklung.
Kesadaran apropriatif ini tentu tidak lepas dari cultural
encountering dengan estetika Barat melalui proses kolonial. Bahkan, bahola
diposisikan dominan, “hang mimpin gendhing”, dalam komposisi gandrung dan
angklung. Kalau dibaca secara kritis, di satu sisi ini menunjukkan realitas
kuasa estetik Barat/kolonial/modern yang mempengaruhi selera estetik para
seniman Using, sepertihalnya kuasa ekonomi-politik mereka.
Di sisi lain, memasukkan biola ke dalam karya lokal
merupakan siasat lentur untuk menyerap budaya dominan, tetapi tetap
mengedepankan cara baca kritis-kreatif sesuai kepentingan untuk mendapatkan
komposisi yang menarik, tanpa meninggalkan kesadaran lokal. Maka, dalam harmoni
dengan alat-alat lain, bahola-juga triangle, kluncing-menyatu ke dalam bahasa
dan ritme lokal yang menguntungkan para musisi dalam mengiringi pertunjukan
tari berbasis gandrung. Penjabaran lain yang menurut saya menarik dicermati
adalah tuning frekuensi angklung (Hendratha, 2021: 35-55).
Keterangan Gambar : Kang
Awik, Badut Angklung Caruk Alasmalang. (Foto: Dok. Artevac)
Tradisi lisan tidak akan pernah mencatat partikularitas frekuensi bunyi yang dihasilkan masing-masing kelompok angklung. Selain membuktikan ketelitian dalam menuliskan laras, suguhan berupa gambar-gambar dari tuning frekuensi mengindikasikan bahwa perbedaan adalah ‘takdir kelisanan’ yang mengedepankan aspek rasa dalam berkarya. Perbedaan frekuensi dari masing-masing kelompok menegaskan bahwa dalam kesatuan nama angklung, sejatinya, terdapat perbedaan yang mengalir dan mengalun tanpa harus menjadi masalah serius.
Alih-alih, perbedaan tersebut menjadi partikularitas
estetik yang menjadi karakteristik masing-masing kelompok dan meramaikan
perjumpaan-perjumpaan dalam angklung caruk. Peta konseptual “kemenyatuan dalam
keberbedaan” menggerakkan budaya angklung yang menyebar di kantong-kantong
Using di Banyuwangi. Bahkan, kehadiran laras angklung anyar sebagai respons
terhadap tradisi garap nyanyi untuk mengakomodasi penyanyi yang tidak biasa
dengan nada melengking ala gandrung serta kebutuhan para musisi muda untuk
mengkolaborasikannya dengan alat-alat musik modern tidak menimbulkan masalah
terlalu serius.
Prinsip merespons kebutuhan yang berkembang dan bersifat
kontekstual, menjadikan kehadiran laras ataupun bentuk baru angklung bisa
mengisi ruang-ruang geo-kultural Banyuwangi, bahkan meluas sampai
kawasan-kawasan lain. (Bersambung)
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik
identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)