ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (5)Tantangan Kreativitas

ANGKLUNG, TABUNG MUSIK BLAMBANGAN: Ikhtiar Tulis, Tantangan Kreativitas dan Tanggung Jawab Ekologis-Kultural (5)

Kang Awik, Badut Angklung Caruk Alasmalang. (Foto: Artevac)

KabarBanyuwangi.co.id - Sebagai kesenian yang terbuka, dinamis, dan lentur, sebenarnya banyak hal yang bisa dieksplorasi menjadi garapan inovatif yang bisa menyentuh hasrat estetik kaum muda. Katakanlah angklung caruk yang dikupas secara detil dalam buku ini.

Pertunjukan battle antara dua kelompok angklung ini memiliki kualitas estetik yang cukup rancak, dengan kapasitas dan kemampuan musikalitas yang cukup mumpuni. Memang dalam angklung caruka ada kompetisi kreatif antarkelompok, tetapi itupun bisa dikemas menjadi suguhan menarik.

Tentu saja ini membutuhkan positioning yang jelas, agar para seniman muda tidak sekedar menunggu job dari dinas-dinas terkait, tidak sekedar larut dalam beragam karnaval dan festival.

Baca Juga :

Sejatinya, apa yang diberikan buku ini adalah sebuah dokumen berisi data base yang luar biasa. Dari dokumen inilah para seniman muda bisa mendesain dan membuat komposisi musikal dan tembang yang disesuaikan dengan selera anak-anak masa kini.

Saya seringkali merasa miris dan sedih ketika menjumpai even-even musikal di Banyuwangi yang mendatangkan musisi nasional dengan label kolaborasi, sedangkan di tlatah ini terdapat kekayaan musikal yang bisa dijadikan komposisi-komposisi dahsyat yang tidak kalah hebatnya.

Saya tidak mengatakan bahwa even-even musikal yang mendatangkan musisi nasional tidak perlu dilakukan, tetapi setidaknya ada kesadaran bersama untuk mentransformasi musik Banyuwangi ke dalam pertunjukan-pertunjukan musikal masa kini.

Komposisi rancak dan dinamis angklung bisa dikembangkan menjadi semacam orkestra lokal yang digelar di tempat-tempat terbuka, di dusun-dusun, di rumah-rumah adat/budaya. Para seniman muda Banyuwangi bisa mengawalinya.


Keterangan Gambar : Pak Sahlan seorang panjak senior sedang memainkan Angklung. (Foto: Adlin Mustika)

Alih-alih menunggu dilibatkan dalam ajang Banyuwangi Festival, akan lebih baik kalau para seniman muda membuat ajang musikal yang bisa dikolaborasikan dengan tari garapan. Mereka bisa memainkan komposisi angklung yang bersifat pakem dan karya kolaboratif dengan instrumen musik modern yang lebih variatif. Jadi, ada dua komposisi.

Model ini sekaligus menjadi pembelajaran buat penonton, khususnya anak-anak dan generasi muda, bahwa ekpslorasi musikal apapun, kalau berbasis pada beragam pakem angklung yang ada bisa menghasilkan garapan-garapan baru yang tidak melupakan karakteristik lokalnya.

Tidak ada salahnya pula, garapan-garapan baru tersebut diunggah di new media untuk memperluas jangkauan penikmat, sekaligus membuat mereka penasaran dan akhirnya mau datang ke Banyuwangi untuk menikmati pertunjukan secara langsung.

Karnavalisasi dan festivalisasi yang menjadi trend industri pariwisata Banyuwangi menghadirkan banyak perubahan dan klaim-klaim kemajuan dalam kehidupan masyarakat dan pelaku budaya.

Namun, apa yang pasti dari beragam karnaval dan festival tersebut adalah semakin menguatnya rezim pariwisata yang mempertemukan hasrat ekonomi politik pemimpin yang berkuasa dan kelompok pemodal besar (Setiawan & Subaharianto, 2019, 2020a, 2020b; Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto, 2017a, 2017b).

Dalam kondisi demikian, semua karnaval dan festival diarahkan untuk menarik kehadiran wisatawan. Menjadi wajar kalau yang disuguhkan kemudian adalah tampilan yang bersifat glamor. Dan, keragaman budaya lokal yang masih dilakoni di masyarakat hanya menjadi pewarna bibir agar pemerintah dianggap sudah memajukan budaya.


Keterangan Gambar : Man Tohan dan rekannya sedang mamainkan Angklung (Foto: Adlin Mustika)

Para seniman muda, khususnya mereka yang sudah bejalar musik dan tari lokal, harus mengambil sikap eksistensial: larut dan hanya menjadi penggembira dalam festival dan karnaval atau mendesain dan membuat program-proram terpola untuk menghadirkan kekayaan kesenian tanpa mengabaikan pengembangan di tingkat bawah.

Membuat even-even kolaborasi dengan menggandeng berbagai pihak bisa menjadi pilihan. Selain itu, mereka juga bisa mengisi rumah-rumah adat dengan aktivitas musikal-tari secara rutin. Tujuannya, agar ketika ada penonton dari luar daerah mereka bisa menikmatinya. Pilihan-pilihan itu akan menjadi budaya tanding dari model selebrasi yang ditawarkan pemerintah.

Ini perlu dilakukan agar masyarakat Banyuwangi semakin sadar bahwa kekayaan budaya mereka tidak harus dinikmati dalam glamornya fashion show, tetapi dalam rancak dan variatifnya kesenian-kesenian lokal yang dikemas secara kreatif oleh para pelaku bersama-sama warga.  (Bersambung)

(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)