Kang Awik, Badut Angklung Caruk Alasmalang. (Foto: Artevac)
KabarBanyuwangi.co.id - Sebagai kesenian yang terbuka, dinamis, dan lentur, sebenarnya banyak hal yang bisa dieksplorasi menjadi garapan inovatif yang bisa menyentuh hasrat estetik kaum muda. Katakanlah angklung caruk yang dikupas secara detil dalam buku ini.
Pertunjukan battle antara dua kelompok angklung ini memiliki kualitas estetik yang cukup rancak, dengan kapasitas dan kemampuan musikalitas yang cukup mumpuni. Memang dalam angklung caruka ada kompetisi kreatif antarkelompok, tetapi itupun bisa dikemas menjadi suguhan menarik.
Tentu saja ini membutuhkan positioning yang jelas, agar
para seniman muda tidak sekedar menunggu job dari dinas-dinas terkait, tidak
sekedar larut dalam beragam karnaval dan festival.
Sejatinya, apa yang diberikan buku ini adalah sebuah
dokumen berisi data base yang luar biasa. Dari dokumen inilah para seniman muda
bisa mendesain dan membuat komposisi musikal dan tembang yang disesuaikan
dengan selera anak-anak masa kini.
Saya seringkali merasa miris dan sedih ketika menjumpai
even-even musikal di Banyuwangi yang mendatangkan musisi nasional dengan label
kolaborasi, sedangkan di tlatah ini terdapat kekayaan musikal yang bisa
dijadikan komposisi-komposisi dahsyat yang tidak kalah hebatnya.
Saya tidak mengatakan bahwa even-even musikal yang mendatangkan musisi nasional tidak perlu dilakukan, tetapi setidaknya ada kesadaran bersama untuk mentransformasi musik Banyuwangi ke dalam pertunjukan-pertunjukan musikal masa kini.
Komposisi rancak dan dinamis angklung bisa dikembangkan
menjadi semacam orkestra lokal yang digelar di tempat-tempat terbuka, di
dusun-dusun, di rumah-rumah adat/budaya. Para seniman muda Banyuwangi bisa
mengawalinya.
Keterangan Gambar : Pak
Sahlan seorang panjak senior sedang memainkan Angklung. (Foto: Adlin Mustika)
Alih-alih menunggu dilibatkan dalam ajang Banyuwangi
Festival, akan lebih baik kalau para seniman muda membuat ajang musikal yang
bisa dikolaborasikan dengan tari garapan. Mereka bisa memainkan komposisi
angklung yang bersifat pakem dan karya kolaboratif dengan instrumen musik
modern yang lebih variatif. Jadi, ada dua komposisi.
Model ini sekaligus menjadi pembelajaran buat penonton,
khususnya anak-anak dan generasi muda, bahwa ekpslorasi musikal apapun, kalau
berbasis pada beragam pakem angklung yang ada bisa menghasilkan garapan-garapan
baru yang tidak melupakan karakteristik lokalnya.
Tidak ada salahnya pula, garapan-garapan baru tersebut
diunggah di new media untuk memperluas jangkauan penikmat, sekaligus membuat
mereka penasaran dan akhirnya mau datang ke Banyuwangi untuk menikmati
pertunjukan secara langsung.
Karnavalisasi dan festivalisasi yang menjadi trend industri
pariwisata Banyuwangi menghadirkan banyak perubahan dan klaim-klaim kemajuan
dalam kehidupan masyarakat dan pelaku budaya.
Namun, apa yang pasti dari beragam karnaval dan festival
tersebut adalah semakin menguatnya rezim pariwisata yang mempertemukan hasrat
ekonomi politik pemimpin yang berkuasa dan kelompok pemodal besar (Setiawan
& Subaharianto, 2019, 2020a, 2020b; Setiawan, Tallapessy, &
Subaharianto, 2017a, 2017b).
Dalam kondisi demikian, semua karnaval dan festival
diarahkan untuk menarik kehadiran wisatawan. Menjadi wajar kalau yang
disuguhkan kemudian adalah tampilan yang bersifat glamor. Dan, keragaman budaya
lokal yang masih dilakoni di masyarakat hanya menjadi pewarna bibir agar
pemerintah dianggap sudah memajukan budaya.
Keterangan Gambar : Man
Tohan dan rekannya sedang mamainkan Angklung (Foto: Adlin Mustika)
Para seniman muda, khususnya mereka yang sudah bejalar
musik dan tari lokal, harus mengambil sikap eksistensial: larut dan hanya
menjadi penggembira dalam festival dan karnaval atau mendesain dan membuat
program-proram terpola untuk menghadirkan kekayaan kesenian tanpa mengabaikan
pengembangan di tingkat bawah.
Membuat even-even kolaborasi dengan menggandeng berbagai
pihak bisa menjadi pilihan. Selain itu, mereka juga bisa mengisi rumah-rumah
adat dengan aktivitas musikal-tari secara rutin. Tujuannya, agar ketika ada
penonton dari luar daerah mereka bisa menikmatinya. Pilihan-pilihan itu akan
menjadi budaya tanding dari model selebrasi yang ditawarkan pemerintah.
Ini perlu dilakukan agar masyarakat Banyuwangi semakin
sadar bahwa kekayaan budaya mereka tidak harus dinikmati dalam glamornya fashion
show, tetapi dalam rancak dan variatifnya kesenian-kesenian lokal yang dikemas
secara kreatif oleh para pelaku bersama-sama warga. (Bersambung)
(Dr. Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer
Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan
Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan
media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik
identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com)